TEMPO.CO, Jakarta - Komposisi Trisutji Kamal dibawakan oleh kolaborasi memukau antara Iswargia R. Sudarno, Hazim Suhadi, Rachman Noor, Jro Mangku Tangkas, dan I Ketut Budiasa di Teater Salihara, Jakarta. Repertoar yang dimainkan pada Kamis malam, 6 Agustus 2015, itu banyak mengiramakan perasaan yang kelam dan kelabu.
Komposisi yang dibawakan dalam pentas bertajuk Tribute to Trisutji Kamal itu kebanyakan adalah komposisi yang digubah pada dekade 1990-an. Pada periode waktu tersebut, pengaruh Islam sangat kuat dalam karya-karya Trisutji, sehingga peralihan musiknya dari kontemporer ke etnik sangat tampak jelas.
"Awalnya, dia (Trisutji) banyak memainkan musik kontemporer, cuma belakangan ini dia lebih tertarik dengan musik etnik," ujar Tony Prabowo, komponis dan kurator Komunitas Salihara, kepada Tempo, sebelum pementasan.
Pentas dibuka dengan interpretasi memukau dari duet Iswargia dan Hazim terhadap komposisi Trisutji berjudul Impian Nabi Ibrahim, Qurban, dan Kemenangan. Jemari duo pianis itu lincah berlarian di atas bidak-bidak piano. Terkadang mereka memetik dawai di dalam piano, lalu disambut pukulan rebana untuk memberi tekanan di akhir bait agar lebih agresif.
Trisutji juga banyak menuangkan unsur kesusastraan dalam komposisinya, seperti Ya Tuhan, Perjalanan, dan Reinkarnasi. Komposisi yang dimainkan lewat kolaborasi selo, perkusi, dan puisi membuat suasana kian magis. Jro mengucapkan puisi bak melafalkan mantra-mantra.
"Tuhan, hamba pasrah pada-Mu saat reinkarnasi..., reinkarnasi..." ucap Jro dengan diiringi sayatan selo dari Rahman dan riuh perkusi dari Budiasa.
Nada-nada yang dihasilkan dari komposisi Trisutji terkadang melompat-lompat tak beraturan dan terdengar disonan. Banyak juga repetisi nada dalam piano yang menciptakan bunyi seperti gemuruh. Namun itu berhasil mempengaruhi perasaan untuk sejenak turut merasakan pilu.
Pentas tersebut diakhiri komposisi Takdir (1963-1967) dengan ansambel piano empat tangan, selo, perkusi, serta lantunan puisi oleh Jro. Pentas ini menandakan kiprah Trisutji, yang tahun ini berusia 79 tahun. Perpaduan yang unik antara titi laras modern, etnik Bali, dan etnik Timur Tengah di pentas itu menunjukkan Trisutji adalah seorang jenius yang berhasil mengawinkan tradisi yang sebelumnya tak pernah bersentuhan.
LUHUR TRI PAMBUDI