TEMPO.CO , Yogyakarta: Doggy House Production, event organizer yang digawangi grup band Shaggydog, menggelar pentas musik “Sound of Ska #5”, di Jogja National Museum, Sabtu malam.
Pembetot bas Shaggydog, Aloysius Oddisey Sanco, mengatakan konser itu untuk menggalang dana bagi perlindungan satwa di Yogyakarta. “Hasil penjualan tiketnya kami sumbangkan ke organisasi pencinta binatang,” katanya, Kamis, 31 Juli 2015.
Sejumlah band baru dan lama beraliran ska akan meramaikan event kelima itu. Mereka adalah Shaggydog, Sentimental Moods, The Ska Banton, Black Sky, Apollo 10, Noin Bullets, Social Hitam Putih, dan The Mobster.
Musik ska pernah berjaya di Tanah Air. Jenis musik ini mengalami masa puncaknya pada akhir 1990-an. Sejumlah band bergenre ska lahir kala itu. Di antaranya Shaggydog, Tipe-X, dan Noin Bullet. Setelah pamor musik ska sempat meredup pada pertengahan 2000-an, pada 2015 ini sejumlah grup musik ska baru bermunculan kembali.
Kelompok Shaggydog terbentuk pada 1 Juni 1997 di Kampung Sayidan, pinggir Sungai Code, Yogyakarta. Mereka menyebut jenis musiknya “Doggy Style”. Yaitu, perpaduan beberapa unsur musik, seperti ska, reggae, jazz, swing, dan rock. Mereka juga dipengaruhi band seperti Cherry Poppin Daddies, Hepcat, Bob Marley, dan Song Beach Dub Allstars.
Album Shaggydog pertama kali dirilis pada 1999 berjudul Shaggydog di bawah label Doggy House. Lalu pada 2001 muncul album kedua berjudul Bersama. Masa keemasan Shaggydog dimulai pada 2003, diawali sebuah konser dalam pesta tahun baru di UPN Yogyakarta.
Pada 2006, Shaggydog diundang Festival Mundial Production untuk tur tunggal di 11 kota di Belanda. Pada 2009, grup ini diundang tampil di acara Darwin Festival. Dan pada 2009, grup musik ini menelurkan album kelimanya, Bersinar, di bawah label Fame.
Bandizt—sapaan Sanco—berharap Sound of Ska kali ini bisa menjadi bentuk dukungan, untuk menjaga grup band dan musik ska. “Biar tidak sekadar jadi angin lalu di belantika musik Indonesia,” katanya.
Hasil dari konser itu akan diserahkan ke Animal Friend Jogja. “Ini sumbangan dari masyarakat dan musisi,” kata Manajer Program AFJ, Dessy Zahara Anggelina Pane. “Jadi, sambil bersenang-senang, ikut perlindungan satwa.”
Di Yogyakarta, kata Dessy, masih ditemukan penyiksaan dan penelantaran binatang. Dalam beberapa kasus, ujarnya, AFJ mencatat masih ada kalangan yang menjadikan daging anjing sebagai makanan. Selama beberapa tahun terakhir, AFJ getol berkampanye “Dogs Are Not Food”.
ANANG ZAKARIA | LN IDAYANIE