TEMPO.CO, Yogyakarta - Patung berbahan tanah liat karya seniman Ismanto Wahyudi yang sempat dipamerkan dalam Biennale Terakota 2015 di Yogyakarta, kini tersimpan di Museum of Contemporary Arts (MOCA) Singapura.
“MOCA Singapura tertarik mengkoleksi karya itu karena cenderung kontemporer dan bermetafor universal, yakni pesan anti-kekerasan,” kata Ismanto kepada Tempo, Rabu, 8 Juli 2015. MOCA Singapura membeli satu set karya berjudul Meghaphone Diplomacy dibeli itu dengan harga Rp 35 juta.
Ismanto menjelaskan MOCA Singapura mengetahui karyanya dari gencarnya pemberitaan media massa tentang Biennale Terakota yang bertajuk Art On The River di pelataran rumah seniman Djoko Pekik, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, 7 Juni-7 Juli 2015. Waktu itu sejumlah media memajang foto karya Ismanto.
Patung karya seniman kelahiran Yogyakarta, 20 Oktober 1975 itu memang mengusung tema antiperang. Terdiri dari 87 satuan berbentuk gramofon yang duduk di atas tank-tank perang. Ismanto memajangnya melingkar di atas bata, seperti bunga yang sedang mekar.
Ismanto menyusun instalasinya menyerupai tetesan air di dalam kolam yang tenang. Ia mengandaikan karyanya itu sebagai air menetes dari udara. Dari tetesan itu akan timbul gelombang yang menyerupai lingkaran dan mempunyai efek merambat, menjadi lingkaran yang semakin besar.
Baca Juga:
Efek merambat itu seperti sebuah beragam pesan yang disampaikan lewat media sosial. Pesan itu semakin cepat menjalar menjadi sesuatu yang ramai dibicarakan. Karya ini menarik perhatian setiap pengunjung selama dipamerkan.
Alumnus Sekolah Menengah Seni Rupa itu terinsipirasi dari perkembangan politik antar-partai politik, antar-negara ketika membuat karya itu. Banyak politikus maupun pejabat negara yang menyampaikan pesan melalui media, terutama media sosial, dan bisa bernada tekanan atau ancaman.
Tekanan atau ancaman itu disimbolkan dengan pasukan yang membawa terompet dalam suasana perang. Maupun untuk menarik simpati. “Efeknya seperti virus yang menjangkiti berbagai lapisan masyarakat,” kata Ismanto.
Ribuan pesan itu, kata Ismanto, menghujani orang bagaikan tetesan air hujan di kolam yang tenang. Lalu, meriam terompet gramofon kuno itu membawa pesan lagu bernada perdamaian. Lagu nisa juga mengingatkan suasana yang tenang pada masa lalu. Ismanto membutuhkan waktu 4 bulan lebih untuk menyelesaikan karyanya.
Penggagas Biennale Terakota , Noor Ibrahim, mengatakan MOCA mengundang peserta pameran itu untuk memamerkan karya di museum pada Desember 2015. Noor menyambut baik tawaran itu. “Saya berharap Biennale Terakota bisa berkelanjutan setiap dua tahun,” kata Noor Ibrahim.
Ia menyatakan karya yang laku adalah bonus dari sebuah pameran. Selain karya Ismanto, beberapa karya lainnya yang terjual adalah ciptaan Noor, Ismanto, Anik, dan Mesdi. Tujuan pameran itu, kata Noor Ibrahim, adalah menengok sejarah Indonesia yang kaya akan budaya dan seni terakota.
Pameran itu merupakan wujud kegelisahan pada terakota, yang selama ini hanya menjadi bahan dekoratif di Kasongan. Gerabah kerap dianggap sebagai benda yang rapuh. Ini membuat bahan itu kalah pamor dengan perunggu dan besi. Padahal, terakota berbahan tanah liat punya nilai visual yang artistik dan tahan panas.
Biennale Terakota 2015 bertajuk Art On The River melibatkan 70 seniman Indonesia dan mancanegara. Tak hanya memajang karya di lahan milik Pekik, pameran menampilkan 30 artefak periode Kerajaan Majapahit abad ke-14 di Pintu miring Artspace Gesik Rt 03 Kalipucang, Kasongan, Bantul, Yogyakarta.
SHINTA MAHARANI