TEMPO.CO, Jakarta - Penggemar presenter cantik Isyana Bagoes Oka harus mengucapkan selamat tinggal. Jurnalis 34 tahun itu mengakhiri karier jurnalistiknya.
Senin, 15 Juni lalu, pembaca berita itu mengirim surat terbuka kepada media untuk menyatakan dirinya bukan lagi wartawan, melainkan politikus. Isyana bergabung dengan Partai Solidaritas Indonesia, partai anyar bentukan Grace Natalie, yang juga mantan jurnalis televisi.
"Ini satu keputusan terbesar dalam hidup saya," ujarnya, seperti ditulis Koran Tempo, Kamis, 25 Juni 2015. Jurnalisme mengantarkan Isyana ke berbagai momen penting Indonesia dan dunia. Mengawali karier sebagai reporter arus mudik, mantan foto model itu meliput tsunami Aceh, bom bali II, dan pemilihan umum yang mengantarkan Barack Obama menjadi Presiden Amerika Serikat pada 2004. Isyana menempatkan wawancara idolanya, Hillary Clinton, saat itu menteri luar negeri AS, dalam acara musik Dahsyat di RCTI sebagai momen favoritnya.
Di sela pekerjaannya, berembus rayuan beberapa partai politik. Awalnya, menjelang Pemilihan Umum 2009 dan berulang lima tahun kemudian. Isyana bergeming. Dua bulan lalu, Grace, yang lebih muda dua tahun dan juniornya di jurnalistik, datang bersama ide PSI-nya.
Isyana mengatakan obrolan politik mereka klop. PSI, dia melanjutkan, berpegang pada "kebajikan dan keragaman". Hal ini sejalan dengan ajaran mendiang Gedong Bagoes Oka, pemikir Hindu, yang tidak lain adalah nenek Isyana.
Hal lain yang membuat dia lebih terpincut adalah fakta bahwa PSI merupakan partai baru yang bebas dari "pemain-pemain lama". Dia menganggap hal itu sebagai semangat politik yang baru. Terlebih, Isyana dan Grace—keduanya ibu satu anak—memiliki keinginan serupa: masa depan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Isyana pun menjadi sering mengikuti pertemuan partai itu. "Karena isinya anak muda semua, jadi lebih nyambung," ujarnya. Dia lalu ditunjuk sebagai ketua dewan pimpinan pusat.
Sebagai perpisahan dengan jurnalisme, Isyana membuat surat terbuka—yang juga disebar kepada 27 ribu pengikutnya di Twitter—tersebut. Setelah warkat dikirim, Isyana seharian "sport jantung". Dia bergidik membayangkan hidup baru yang lepas dari jurnalisme, profesi yang pernah dia jalani 12 tahun terakhir. "Seumur hidup, deg-degan seperti itu cuma waktu sidang skripsi, live report pertama, dan wawancara Hillary Clinton," katanya. "Bahkan, kawin tidak deg-degan begitu."
Satu per satu, pesan masuk di Samsung Galaxy-nya, balasan akan "surat pamit" yang dia layangkan. "Kenapa masuk politik, Is?", "Kok gitu, sih?", dan serangkaian kekecewaan lainnya. Namun, setelah dijelaskan, mereka memahami alasan Isyana. "Saya terharu karena akhirnya semua rekan mendoakan saya."
REZA MAULANA