TEMPO.CO, Yogyakarta - Bagaimana ketika sepatu bermerek Adidas menjadi idiom karya seni rupa? Inilah yang terjadi. Satu ruangan di lantai I gedung Jogja National Museum, Yogyakarta, menjelma menjadi “toko sepatu”. Sejumlah sepatu Adidas dipajang di atas rak kayu lengkap dengan kotaknya. Sederet lampu menerangi benda pembungkus kaki itu, persis seperti etalase di pusat belanja.
Dinding “toko” itu berhiaskan citraan sosok lelaki menenteng kepala (bukan menenteng sepatu). Sederet kalimat tertulis di atasnya: “The only way to deal with problems in this world is by running from it. So run, run as fast as you can”. Teks itu tampak tak rapi, seperti ditoreh asal-asalan.
Baca Juga:
Inilah karya seni instalasi yang oleh pembuatnya perupa Agung Kurniawan, diberi judul yang kesannya sangat serius: Adidas Tragedy. Karya itu salah satu bagian dari pameran seni rupa “Art Moment Jogja 15” di Jogja National Museum 7 Juni-30 Juni 2015. Pada pameran ini juga dipajang karya perupa Abdi Setiawan, Ay Tjoe Christine, Tisna Sanjaya, dan Ronald Manulang.
Tapi jangan silap, Agung tidak sedang berbicara tentang tragedi yang berhubungan dengan sepatu produksi perusahaan multinasional yang berbasis di Herzogenaurach, Bavaria, Jerman ini. “Saya tidak sedang mengkritik Adidas,” kata pengelola ruang pamer Kedai Kebun Forum ini kepada Tempo, Selasa, 16 Juni 2015 malam. Dia hanya menggunakan sepatu bermerek Adidas sebagai media ekspresi. “Saya ingin bicara sejarah lewat benda sehari-hari.”
Sekilas, sepatu Adidas Agung Kurniawan mirip dengan sepatu merek sama yang dijual di toko sepatu. Wujudnya, persis seperti Adidas City Series, produk sepatu casual Adidas yang bertema dan berlatar belakang kota di dunia. Selain tercantum merek dan logo Adidas, di sepatu biasa tercantum tulisan kotanya. Semisal Amsterdam, London, Vienna, Brussel, Kopenhagen, hingga Milano.
Dia menambahkan tulisan bagian belakang sepatu itu yang mengingatkan orang pada sejumlah tragedi kemanusiaan di sejumlah negara. Ada Cairo 2011, Beijing 1989, Boyolali 1967, Cambodia 1975, dan Guangju 1980. Pada permukaan kotak sepatu itu Agung menorehkan ilustrasi visual yang menggambarkan tragedi masing-masing.
Pada kotak sepatu Cairo 2011 Agung menggambarkan gelombang protes yang mengingatkan peristiwa revolusi mesir pada 2011. Adapun lewat Beijing 1989, Agung mengingatkan tragedi di Lapangan Tiananmen Cina berupa seorang mahasiswa menghadang barisan tank.
Pada dasarnya, “Adidas Tragedy “ adalah karya interaktif yang bisa dijajal pengunjung pameran. Misalnya pada karya “Jakarta 1998” yang berbicara tentang gelombang protes mahasiswa pada 1998 yang akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepas jabatan yang sudah dia kekap selama tiga dekade. Agung mengajak pengunjung pameran berbincang tentang peristiwa itu, dan ingatan mereka terhadap perubahan politik di tanah air. “Ternyata banyak generasi muda kini yang lupa pada peristiwa itu,” katanya.
Padahal, untuk memicu kembalinya ingatan itu Agung menyelipkan batu kerikil kecil pada sepatu sebelah kiri, sehingga ketika orang mencobanya akan terasa ada yang mengganjal kakinya. “Kalau jalan dia jadi pincang,” katanya. Bagi Agung, bak kerikil yang mengganjal, tragedi kemanusiaan di mana pun dan kapan pun selalu membuat tak nyaman. Selama belum tuntas diusut, peristiwa itu seperti kerikil dalam sepatu.
ANANG ZAKARIA