TEMPO.CO, Bojonegoro - Jumlah dalang wayang kulit di Jawa Timur stagnan dan cenderung turun. Penyebabnya karena minim kaderisasi, baik melalui sekolah formal maupun belajar otodidak dari seorang dalang senior.
Data Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Jawa Timur menyebutkan pada 2015 jumlah dalang sebanyak 1.600 orang atau sama dengan data pada 2006. ”Jumlahnya stagnan,” ujar Sekretaris Pepadi Jawa Timur Sukatno dalam pengukuhan pengurus Pepadi Bojonegoro, Rabu, 3 Juni 2015.
Baca Juga:
Minimnya sekolah dalang, kata dia, menyebabkan profesi ini cenderung menurun. Di Jawa Timur terdapat sekolah formal pedalangan, yaitu Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Surabaya. Namun namanya diubah menjadi Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 9 Surabaya.
Di sekolah ini terdapat jurusan pedalangan yang tiap tahun jumlah lulusannya sekitar 15 orang. Di luar sekolah formal biasanya ada pula calon dalang yang belajar dengan metode nyantrik atau langsung kepada dalang senior.
Belajar langsung kepada dalang senior, kata Sukatno, lebih memudahkan kaderisasi. Misalnya, jika di Jawa Timur ada 1.600 dalang, maka jika ada satu atau dua orang yang nyantrik, prosesnya lebih lancar karena bisa belajar sekaligus praktek.
Menurut Sukatno profesi dalang masih cukup menjanjikan. Setidaknya, tarif sekali mendalang di Jawa Timur bisa sebesar Rp 40 juta. Bila sudah terkenal seperti Ki Anom Suroto atau Ki Manteb Sudarsono, tarifnya tarifnya mencapai Rp 90 juta hingga Rp 100 juta. ”Jadi ini profesi yang menarik,” tutur Sukatno yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur ini.
Wakil Bupati Bojonegoro Setyo Hartono menambahkan pariwisata di Bojonegoro kini tengah digarap serius. Apalagi dengan jumlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2015 sebesar Rp 2,9 triliun. ”Kita serius menggarap sektor pariwisata,” ujarnya. "Profesi dalang harus dilestarikan karena kesenian wayang merupakan peninggalan leluhur yang adiluhung."
SUJATMIKO