Dosen Budaya dari Universitas Negeri Makassar, Halilintar Latif, yang juga menjadi pembicara, mengatakan multikulturalisme berhadapan dengan dua aspek, yakni keanekaragaman (relativitas) dan kesamaan (universalitas) di pihak lain.
Tapi tantangan terbesarnya, menurut dia, adalah bagaimana budaya lokal bisa bertahan dan bersaing. Nilai-nilai lokal terjadi percatutan di era tanpa batas dan sekat wilayah atau globalisasi. Salah satu kelemahan lokalitas itu karena modal sumber daya manusia, ketika penguasaan teknologi dan media belum maksimal. Menurut Halilintar, tiap budaya lokal harus dibiarkan berkembang dan tidak boleh lagi terjadi keseragaman kebudayaan seperti pada masa Orde Baru.
Ridwan Aco, koreografer, mengatakan tari kontemporer yang dideskripsikan pada awal tulisan ini adalah salah satu wujud ekspresi yang berkembang. Lewat karyanya yang berjudul “Garis Datar 1x1” ini, ia ingin mendeskripsikan sebuah upacara menghadapi kematian. Sebuah ritual menyucikan diri. Adapun simbol kain putih yang dijatuhkan dari tangan merupakan salah satu simbol muatan tradisi lokal.
Aco hanya mencoba menafsirkan tarian dengan pengetahuan dan pengalamannya. Tapi pesan utama yang ingin disampaikan tarian ini, kata Aco: mari kita mempersiapkan diri untuk kembali kepada-Nya.
Nur Annisa, mahasiswa UNM yang hadir dalam acara itu, menyayangkan festival ini tak seramai tahun sebelumnya. Antusiasme masyarakat Makassar untuk menyaksikan kegiatan seni dan budaya masih sangat kurang, terutama dari kalangan muda.
MUHCLIS ABDUH | IRMAWATI