Halim H.D., budayawan asal Solo yang turut hadir, mengatakan aktivitas seni dan budaya di Makassar perlu diramaikan kembali seperti pada periode 1990-an, yang begitu meriah dan ramai oleh aktivitas seni dan budaya. Acara seperti ini bisa dilakukan tiap bulan bahkan per pekan. Tidak perlu dalam skala besar, yang penting acaranya rutin.
Halim adalah salah satu pembicara dalam Seminar Pendidikan Seni dan Budaya yang digelar pada hari kedua. Tema utamanya “Multikulturalisme”. Tema multikulturalisme yang dimaksud meliputi pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang, serta sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis lain.
Menurut Ram, sapaan Asia, melalui kegiatan ini, mereka ingin mengembalikan semangat bhineka tunggal ika yang mulai memudar. Keberagaman budaya yang dimiliki bisa menjadi menjadi kekuatan yang mampu membangkitkan Indonesia.
Degradasi dan kemorosotan nilai multikulturalisme tergambar di dunia pendidikan dengan lahirnya “tradisi” tawuran di kalangan siswa, mahasiswa. Begitupun dalam kehidupan bermasyarakat, masih sering terjadi konflik.
Menurut Halim, multikulturalisme sulit berkembang karena terjadi sentralisasi cara pandang dan belum cukupnya ruang publik. Sentralisasi cara pandang, menurut dia, terjadi di mana-mana. Di kalangan suku Jawa pun, terjadi di Solo dan Yogyakarta. Sentralisasi bisa menjadi tembok penghalang berkembangnya budaya lokal yang juga berarti multikulturalisme atau keberagaman tidak mendapat tempat.