TEMPO.CO, Jakarta -Jackson Leung tak dapat menahan diri untuk tidak menatap alis lelaki itu. Begitu tebal dan hitam--hingga mengingatkannya pada ulat bulu yang menjadi hama di kebun sekolahnya. "Nín ho ma," tutur Jackson. Arti dari kalimat itu adalah bagaimana kabar Anda. Kata "nin" dipakai Jackson untuk menyapa orang yang kedudukannya lebih tinggi. "Kalau ’ni’ itu ucapan halo ke orang biasa," ujarnya.
Di hadapannya memang bukan lelaki sembarangan. Dia adalah Perdana Menteri Cina Zhou En Lai. Ketika itu Jackson muda mendapat tugas mengalungkan bunga. Ia berjinjit untuk mencapai leher sang Perdana Menteri Cina. Setelah salaman dengan Zhou, kata-kata yang ia siapkan sebelumnya malah lenyap. "Gugup saya," ujar Jackson kepada Tempo melalui sambungan telepon Jakarta-Hong Kong, Sabtu 20 April 2015.
Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung, siang itu--Minggu, 17 April 1955--penuh polisi berbaju cokelat susu. Wartawan dalam dan luar negeri merubung menanti Zhou. Jackson, saat itu berumur 14 tahun, melihat Zhou datang bersama delegasi lain dari Republik Rakyat Cina yang bakal hadir di Konferensi Asia-Afrika.
Ia begitu antusias mendapat tugas itu karena tahu betul sosok yang ada di hadapannya. Di dinding sekolahnya, Sekolah Menengah Pertama Ching Hua Bandung (sekarang Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Bandung), tergantung foto-foto pemimpin Cina, seperti Mao Zedong, Liu Shaoqi, dan Zhu De, termasuk Zhou En Lai. "Saat bertemu langsung lebih ganteng. Bekas cukuran di wajahnya warna biru, kasep," ucap Jackson dalam bahasa Sunda.
Jackson lahir di Bandung, Juli 1940. Orang tuanya importir piring dan cangkir dari Cina yang tinggal bersamanya di Jalan Astana Anyar, Bandung. Jackson bersekolah di Ching Hua, prestasi akademiknya moncer. Ia menguasai Mandarin dan Inggris. Itulah musabab ia terpilih menjadi orang yang mengalungkan bunga untuk Zhou. "Ada tim khusus sekolah yang menilai saya," ujarnya.
Sosok Zhou, diketahuinya dari materi ajar gurunya di SMP. Zhou, dikenalnya sebagai negosiator dan diplomat ulung yang membentuk kebijakan luar negeri dan mengembangkan perekonomian Cina. Zhou juga yang berperan dalam intervensi Cina membantu Vietnam Utara, yang membuat Amerika Serikat tidak suka. "Karena itu, Zhou menjadi incaran intelijen Barat," tuturnya.
Menurut Jackson, anak-anak muda yang terlibat dalam penyelenggaraan KAA waktu itu diharuskan merahasiakan tugas. Mereka, kata dia, bersedia mengorbankan diri dengan menggunakan badan sebagai tameng apabila terjadi aksi teror. “Saya tidak tahu bagaimana proses anak lain itu terpilih. Kami tidak saling kenal,” ujarnya.
Beberapa hari sebelum pengalungan bunga, kepala sekolah Jackson datang ke rumah. Jackson dengan keadaan panik karena seolah-olah memiliki kasus. Ternyata dugaan itu salah. Dia lalu dibawa dengan sepeda motor oleh kepala sekolahnya ke sebuah gedung di Jalan Kebon Jati, yang kini menjadi rumah sakit.
Ada banyak pertanyaan yang ditujukan kepada Jackson di gedung itu. Salah satu yang ia ingat: apakah bisa menjaga rahasia. Jackson ketika itu ia menjawab bisa. Dia pun diberi tahu bahwa tugasnya adalah menjemput delegasi dari luar negeri, hanya belum ditentukan dari negara mana. "Saat Ibu bertanya pergi dari mana, saya jawab dari menulis mading (majalah dinding) di sekolah," ucapnya.
Pukul 5 pagi, Sabtu, 16 April 1955, sebuah mobil Plymouth hijau datang menjemput ke rumahnya. Jackson menggambarkan warna mobil itu mengkilat seperti batu giok dan atapnya bisa dibuka. Ketika itu ia sudah siap berangkat dengan seragam sekolah putih-putih. Ia hanya seorang diri di mobil bersama sopir. Jackson meminta duduk di kursi depan.
Di bandara, ia diwanti-wanti untuk waspada. Belasan pria tidak dikenal bolak-balik menemuinya untuk mengingatkan tidak boleh menerima barang dari siapa pun--karena khawatir ia dijadikan martir untuk mencelakai para delegasi. Bahkan ke toilet pun ia diawasi. "Saya tidak makan, tidak minum. Dulu mana ada air mineral dalam botol," ujar Jackson. Sampai sore, delegasi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Akhirnya ia kembali diantar pulang.
Keesokan paginya, Jackson dijemput lagi. Kali ini yang ditunggu-tunggu datang. Petugas menyuruhnya berlari mendekati Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Ia ingat Ali memeluk erat Zhou, kemudian memberi aba-aba kepadanya untuk mempersembahkan bunga dan bersalaman. Setelah itu, tangan Jackson dijabat oleh ratusan orang. "Mungkin agar tertular kesuksesan Zhou," ucapnya, tertawa.
Setelah sekian lama menyimpan rahasia tentang tugas itu, Jackson akhirnya bercerita kepada kolega dan orang tuanya--termasuk kepada wartawan--ketika sudah menjadi pengusaha. Pada usia 15 tahun, sebenarnya ia sudah sadar ada tim khusus yang menilainya, dan itu membuatnya bangga. “Beruntung bisa bertemu dengan Zhou,” ujar Jackson.
Panggilan Jackson sendiri diberi oleh teman sekolahnya di Hong Kong pada 1963. Ketika itu ia merantau untuk menuntut ilmu akuntansi dan menjadi pengusaha di negara yang waktu itu menjadi koloni Britania Raya tersebut. Nama aslinya, Leung Sze Mau, sulit dilafalkan oleh orang Inggris di sana sehingga ditambahkan Jackson.
Di Hong Kong, Jackson membangun bisnis ekspor-impor. Beberapa produk Cina ia ekspor ke Indonesia, yakni obat nyamuk, ritsleting, dan peralatan menjahit. Ia menguasai 90 persen pasar ekspor ke Indonesia. Kini, pada usia 74 tahun, ia menjabat Chairman of Golden Island Cable Company, yang membawahkan 10 perusahaan yang juga dikelola dua anaknya.
Profil Jackson sebagai pengusaha sukses diulas majalah ekonomi di Cina, China’s Foreign Trade, terbitan Juli 2009. Dalam penyelenggaraan KAA yang menginjak usia 60 tahun pada 2015 ini, ia akan diundang sebagai saksi sejarah.
Heru Triyono