TEMPO.CO, Purbalingga - Cerita sukses kerajinan batu akik Klawing rupanya dapat ditransfer ke sebuah pementasan seni tradisional seperti yang dipersembahkan oleh Forum Komunikasi Media Tradisional (FK Metra) Purbalingga. Ihwal booming batu akik Klawing ini diangkat dalam cerita berjudul Nagasui, yang ditampilkan dengan musik calung.
"Pesan yang disampaikan adalah usaha di bidang kerajinan batu yang menjadi ikon Purbalingga agar dapat lebih maju lagi. Namun pengelolaannya tidak sampai merusak alam dan lingkungan," ujar sang sutradara, Haryono Sukiran, Rabu, 25 Maret 2015.
Haryono mengatakan batu akik sudah menjadi primadona di Purbalingga. Selama ini para penambang mencari bebatuan di Sungai Klawing.
Salah satu batuan yang terkenal adalah Nagasui. "Dengan tarian ini, kami ingin menceritakan kondisi kekinian di Purbalingga," kata Haryono.
Lain lagi dengan para pelajar. Maraknya pencarian batu akik itu justru dikritik pelajar melalui film. Para sineas muda ini menangkap efek negatif berupa kerusakan alam yang terjadi di beberapa titik penambangan, seperti tebing-tebing batu. Belum lagi para pencari batu yang sampai menjarah batu-batu yang merupakan situs purbakala.
Fenomena ini kemudian ditangkap oleh komunitas Gerilya Pak Dirman Film menjadi film pendek Begal Watu (Begal Batu). Film ini disadur dari cerita pendek karya Misyatun, Mendhem Watu (Mabuk Batu).
"Melalui film, kami ingin menunjukkan kepada masyarakat bahwa boleh saja ikut-ikutan dalam booming batu akik, tapi perlu diperhatikan soal kelestarian alam dan situs-situs purbakala," kata Dinda Gita Rosita, sutradara film yang masih duduk di bangku kelas X sekolah menengah atas di Rembang, Purbalingga.
Begal Watu berkisah tentang seorang anak muda yang tergila-gila kepada batu. Setiap hari pekerjaannya mencari batu, tidak hanya di sungai tapi di semua tempat. Tidak hanya merusak alam dengan mencongkel batu-batu mulia di tebing air terjun, dia juga mengambil batu situs purbakala. Bahkan batu fondasi rumah tetangga pun ia congkel.
Karyo Gunawan, yang berperan sebagai Indra, pemuda pencari batu akik itu, mengatakan ini pengalaman pertama baginya bermain di film pendek. "Awalnya saya sebatas mendukung komunitas film yang katanya sudah tidak diakui pihak sekolah kami. Dan ternyata ikut produksi film itu ramai dan mengasyikkan," ujar siswa kelas XI ini.
Setelah beberapa hari lalu memproduksi film dokumenter, komunitas film yang berdiri pada 2010 ini memproduksi film fiksi pendek dengan biaya sendiri untuk turut berpartisipasi dalam program Kompetisi Pelajar Banyumas Raya Festival Film Purbalingga 2015 pada Mei mendatang.
ARIS ANDRIANTO