Menurut Hajir, film ini tidak sibuk bicara tentang keadilan. Tapi lebih menggambarkan keseharian para waria dalam usaha pasar malam. Film ini juga menunjukkan pergolakan masalah ekonomi. “Di tengah perkembangan peradaban dan juga teknologi, kita di Indonesia malah kehilangan esensi dari komunitas tersebut,” ujar Hajir.
Sosok Madam Phung, kata Hajir, mempunyai seni kepemimpinan yang feminin. Tapi dalam perjuangannya terdapat sisi maskulin. Sisi heroik juga muncul tatkala Madam Phung harus memilih antara kembali ke pagoda (kuil) atau menjaga komunitasnya. “Dia cinta kepada kebaikan. Menjaga komunitas adalah kebaikan,” kata Hajir.
Bahkan, ketika mereka diganggu dan menerima teror, Phung menekankan agar pekerjanya tak bertindak gegabah. Mereka harus melapor dulu kepada Phung, atau kepada polisi. Cara terakhir ini dikagumi Hajir sebagai bentuk mempertahankan diri bagi sebuah komunitas, yang lebih baik ketimbang balik menyerang.
REZKI ALVIONITASARI