Negara, kata dia, tidak mau mempekerjakan waria. “Kamu harus menjadi perempuan atau lelaki," ucapnya. Bahkan, untuk mengurus surat-surat di kantor pemerintahan, waria kerap mendapat perlakuan diskriminasi.
Sorot kamera dalam film ini juga menggambarkan aktivitas para tokohnya kala berada di belakang panggung pasar malam. Seperti berhias, rapat, berdoa, serta diganggu remaja lelaki dan beberapa kali mendapat teror dari warga setempat. Sayang, Phung tidak bisa menyaksikan filmnya. Dia meninggal karena sakit, beberapa bulan setelah pengambilan gambar. Rombongannya pun bubar setelah itu.
Mardiana Bungin dari Rumah Ide Makassar mengatakan, film Madam Phung’s Last Journey mempunyai pesan moral yang kuat. “Bahwa waria bisa bekerja tanpa mempersulit orang lain,” katanya sambil menambahkan, “Kelompok ini berusaha bertahan dengan kehidupannya.”
Darmadi dari Yayasan Ruang Antara dan Tanahindie memberi catatan khusus pada Buddha yang tergambar nyata dalam kehidupan para waria dalam film dokumenter itu. Menurut Darmadi, “Film ini menunjukkan bagaimana komunis gagal menggantikan nilai tradisi secara turun-temurun yang ada di sana.”
Ketua Korps Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Hasanuddin, Hajir Muis, juga mengatakan ada nilai-nilai universal yang sangat menyentuh dalam film ini, yaitu kemanusiaan. Dia tersentuh saat adegan para tokoh yang duduk bercengkerama sembari beristirahat. Mereka berbicara tentang keinginan-keinginan sekaligus realitas yang harus dihadapi. “Film ini sangat jujur dan menyentuh.”