TEMPO.CO, Jakarta - ASEAN Literary Festival (ALF) kembali digelar selama sepekan, 15-22 Maret 2015, di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Malam ini adalah malam pembukaan untuk acara puncaknya, yang diwarnai pembacaan puisi, diskusi dan pertunjukan.
Malam pembukaan ini dipersembahkan untuk sastrawan Sitor Situmorang, yang meninggal 21 Desember 2014 lalu, serta menampilkan permainan piano Ananda Sukarlan dan orasi Ma Thida, penulis dan aktivis HAM Burma yang pernah menjadi tahanan politik. Ada pula pertunjukan oleh Signmark, rapper tunarungu pertama yang sukses di industri musik. [ Baca: Rapper Tunarungu Finlandia, Nge-rap dengan Bahasa Isyarat ]
Direktur Program Festival, Okky Madasari, menjelaskan bahwa ALF tidak hanya menjadi festival sastra, tapi juga merayakan keragaman bahasa. Karena itu, para penyandang disabilitas juga turut dilibatkan dalam festival ini. "Signmark yang tunarungu juga merayakan bahasa dalam sastra, dia memperkaya bahasa di dunia," kata novelis yang memenangi Khatulistiwa Literary Award 2012 untuk karyanya, Maryam.
ALF diselenggarakan oleh Yayasan Muara, sebuah lembaga nirlaba di bidang pendidikan dan kebudayaan untuk keadilan dan kemanusiaan, yang didukung oleh Kementerian Luar Negeri dan Hivos. Digelar pertama kali pada 2014, ALF lahir dari kesadaran tentang banyaknya kesamaan di antara negara-negara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), termasuk dalam sastra dan budaya. Sayang, masing-masing tidak saling mengenal karya budaya satu sama lain. "ALF ingin menjadi wadah yang mempertemukan sastrawan dan karya-karya sastra dan budaya di Asia Tenggara," kata Direktur Festival Abdul Khalik.
ALF resmi dibuka pada Ahad pekan lalu lewat acara pembacaan puisi di Taman Menteng, Jakarta Pusat. Sejumlah penulis, penyair, aktris, dan akademikus di bidang sastra ikut dalam kegiatan itu, di antaranya Dinda Kanya Dewi, Okky Madasari, dan Tommy F. Awuy. Dari luar negeri, hadir penulis sekaligus jurnalis dari Singapura, Josephine Chia, dan Idriss Bouskine dari Aljazair.
Mengusung tema "Questions of Conscience", ALF dipadati oleh beraneka kegiatan, dari tur sastra ke perpustakaan Jakarta Barat dan Jakarta Selatan, Universitas Indonesia, dan Universitas Islam Negeri Jakarta, hingga diskusi dan workshop bersama sederet pembicara dari dalam dan luar negeri yang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Abdul Khalik menjelaskan, tema yang diusung dianggap mampu merespons dinamika dan perkembangan zaman. Terutama yang berkaitan dengan laju konsumerisme dan perkembangan teknologi informasi. "Bagaimana sastrawan dan karya sastra ASEAN dan Asia pada umumnya menghadapi perubahan yang ada? Masihkah karya sastra menjadi suara hati nurani dalam memperjuangkan keadilan dan kemanusiaan?" katanya.
Tahun ini, ALF menghadirkan sederet penulis, seniman, akademikus, penerbit, dan film yang berasal dari 20 negara. Tak hanya dari Asia Tenggara, tapi juga dari Cina, Korea Selatan, Australia, Aljazair, Jepang, Jerman, Norwegia, Amerika Serikat, dan India. Bukan hanya melibatkan lebih banyak negara-tahun lalu 14 negara-penyelenggaraan ALF tahun ini juga lebih panjang sehingga kegiatannya pun lebih beragam.
Selain rangkaian diskusi, workshop, dan pentas seni, akan diselenggarakan ASEAN Film Screening yang akan menayangkan film-film terpilih dari masing-masing negara dan literary trip yang akan membawa peserta dan publik ke tempat-tempat penting dan bersejarah dalam perkembangan sastra Indonesia.
DIAN YULIASTUTI | NUNUY NURHAYATI