TEMPO.CO, Jakarta - Hari ini, Kamis, Anwar Fuady resmi menjabat Ketua Lembaga Sensor Film periode 2015-2018. Pengangkatan Ketua LSF ini masih menimbulkan perdebatan. Anwar yang menggantikan Muklis Paeni, yang menjabat Ketua LSF selama dua periode, menyulut reaksi kritis dari kalangan perfilman Indonesia.
Salah satunya, produser dan sutradara Nia Dinata. Pendiri dan pemilik Kalyana Shira Film ini, pada Kamis, mengatakan, "Lembaga Sensor Film adalah warisan Orde Baru yang harus direvolusi mental secara total. Selain ideologinya yang represif, LSF sudah begitu lama menjadi sarang pungli. Setiap film yang disensor harus bayar. Hal ini berlaku berikut seluruh kopi yang jumlahnya bisa puluhan sampai ratusan untuk setiap film."
Wanita kelahiran Jakarta, 4 Maret 1970, ini juga menerangkan, "Belum lagi seluruh materi promosi film juga harus disensor, termasuk poster, trailer film, dan sebagainya. Semua ada biayanya. Nanti ketika film akan dibuat DVD-nya, juga sensor ulang dan ada biaya lagi. Begitu juga ketika film ditayangkan di televisi, sensor ulang dan biaya lagi, lagi dan lagi,"
Nia menilai pungutan liar (pungli) dari sinetron dan program televisi juga tinggi lantaran harus disensor dan masuk dalam pengerjaan LSF.
"Coba bayangkan berapa ratus program televisi dan sinetron per minggu? Juga iklan televisi yang harus disensor dan sebagainya. Jadi sangat banyak penerimaan negara nonpajak lewat lembaga ini. Ada biaya resmi dan tidak resmi yang sudah lumrah dipatok mereka. Karena itu, menurut saya, semestinya yang utama ya UU Film direvisi kembali. Termasuk merevisi fungsi lembaga sensor yang dialihkan menjadi lembaga klasifikasi film bioskop. Penyiaran di televisi dan DVD juga harus dibedakan," kata Nia dengan panjang-lebar.
HADRIANI P.