TEMPO.CO, Jakarta - Tinggal di penjara? Siapa yang mau? Tapi siapa sangka pengalaman itu dirasakan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki ketika zaman Orde Baru. Sepanjang tahun 1985 sampai 1987 ia bolak balik masuk penjara. "Itu tanpa status tersangka lho," kata Suparman, di kantornya Rabu, 4 Maret 2015 di ruang kerjanya, lantai 5 Gedung Komisi Yudisial, Jalan Kramat Raya Nomor 57, Jakarta Pusat.
Ketika itu Suparman dituduh menghasut orang untuk menolak asas tunggal Pancasila. Ia memimpin demonstrasi di Yogyakarta ketika menjadi Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Yogyakarta--sebagai reaksi ketidakpuasan atas kebijakan Pemerintahan Soeharto yang represif. Tidak itu saja, Suparman juga lantang menyuarakan ketimpangan sosial dan kesenjangan ekonomi yang membuat rakyat sengsara.
Saat demonstrasi itulah ia dinilai aparat hukum melawan negara. Ketika unjuk rasa bubar, ia dan beberapa kawannya digeledah, dan diciduk tanpa alasan yang jelas. "Itu bukan polisi yang menangkap, tapi tentara," katanya mengenang. Ia pun digelandang ke tahanan Komando Distrik Militer (Kodim) Kota Yogyakarta. "Di dalam tahanan saya diinterogasi, dibenta-bentak," ucapnya.
Tapi selama di tahanan itu dia tidak gelisah-gelisah amat. Karena tidak ada kekerasan fisik yang ia dapat. Dan yang lebih enaknya lagi, ia mendapat makanan gratis. Apalagi makanan yang disediakan di penjara tergolong variatif. "Nasi Padang, bakmi godok, terkadang makanan warteg," tuturnya, lantas tertawa. Meski makan gratis, Suparman tetap lebih suka menghirup udara bebas. "Nyamuk penjara itu tidak toleran sama aktivis," kata dia.
HERU TRIYONO