TEMPO.CO, Jakarta - Setelah menembus Biennale Venesia dan puluhan biennal internasional lainnya, seniman seni rupa kontemporer Heri Dono masih menyimpan obsesi lain. Dia berkeinginan besar untuk bisa memamerkan karyanya dalam pameran di Jerman, Documenta.
Pameran ini merupakan pameran seni modern dan kontemporer bergengsi lima tahunan. Pameran ini biasanya berlangsung di Kassel, Jerman. Pameran ini didirikan oleh seniman, pengajar serta kurator seni Arnold Bode pada 1955. Pameran ini hanya terbatas dalam 100 hari dan karya yang dipamerkan tidak diperjualbelikan. Pameran ini merupakan pameran lain yang bergengsi selain Biennale Venesia, Art Basel dan Sklupture Projekte Munster.
“Saya beberapa kali nonton, lihat saja Documenta. Pengen suatu saat ikut jadi subyek di sana,” ujar Heri Dono, usai Artist Talk di Istituto Italiano diCultura, Menteng, Senin, 9 Maret 2015.
Heri menilai pameran ini cukup bergengsi bagi seniman yang ikut serta. Karena pameran ini dikuratori oleh kurator-kurator seni yang sangat mumpuni. Para kurator memilih karya seni yang dinilainya sangat layak. Pengunjung pameran ini dari waktu ke waktu selalu meningkat. Pada pameran terakhir pengunjungnya hampir mencapai satu juta orang.
Heri, seniman yang diakui di banyak negara. Dia pun pernah mendapat beberapa penghargaan dari lembaga dan negara lain, seperti Unesco Prize di Shanghai Biennale pada 2000 dan Prince Claus Award dari Kerajaan Belanda pada 1998.
Baca Juga:
Pameran ini, kata Heri, merupakan pameran undangan. Selain karena karya yang bermutu dari si seniman dibutuhkan pula peranan kurator Indonesia untuk menjembatani. Dia menilai kurator Indonesia belum banyak berperan dalam pameran-pameran di luar negeri untuk memperluas jaringan pameran yang penting.
“Kurator Indonesia seharusnya bisa memperluas jaringannya dengan mengkuratori seniman luar negeri. Dia berhak juga,” ujarnya.
Selain itu, dibutuhkan pula kurator yang punya kemampuan bahasa Inggris yang cukup bagus. Sehingga dia bisa menangkap dan menyampaikan artikulasi, keinginan serta ide si seniman.
DIAN YULIASTUTI