TEMPO.CO, Jakarta - Nilai industri musik Indonesia disebut masih minim. Pendapatan dari industri musik bahkan hanya seperempat dari pendapatan festival musik cadas Glastonbury, Inggris.
"Jika dibandingkan dengan satu festival saja, pendapatan Festival Glastonbury empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pendapatan industri musik Indonesia," ujar Robin Malau, penggagas lembaga Musikator di acara Ngobrol Tempo.co, Rabu, 25 Februari 2015.
Festival Glastonbury adalah salah satu festival musik terbesar di Inggris yang berlangsung selama lima hari. Festival tahunan ini digelar sejak 1971.
Menurut Robin, kondisi industri musik Indonesia masih menyedihkan. Ini disebabkan rendahnya pemahaman soal hak cipta di Indonesia.
Hang Dimas, praktisi sekaligus publisis musik, mengatakan pendapatan musikus di Indonesia jauh lebih kecil jika dibanding negara tetangga. "Sewaktu di Malaysia, saya pernah punya band independen bernama Hujan. Dalam setahun kami punya dua-tiga hit, kami bisa punya pendapatan Rp 100 juta," ujar Dimas yang juga publisis dari penyanyi Tulus.
Saat pulang ke Indonesia, Dimas sempat bertemu dengan seorang personel band ternama. "Karena band-nya cukup besar saya bilang. 'Lo dapet berapa duit punya banyak hit?' Kata dia, 'Ya, Rp 2 juta lah untuk semuanya’," kata Dimas.
Menurut Dimas, pendapatan Rp 2 juta itu harus dibagi dengan seluruh personel band.
Acara bincang-bincang santai ini diselenggarakan oleh portal berita Tempo.co bekerja sama dengan Kafe dan Restoran Birdcage serta label Demajors. Ngobrol Tempo kali ini mengusung tema hak cipta dan publishing dalam bidang musik.
SUBKHAN