TEMPO.CO, Jakarta -Dalam pameran "Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh Hingga Kini” yang diadakan di Galeri Nasional Indonesia, Jakarta, sejumlah barang pusaka milik Pangeran Diponegoro ikut dipamerkan. Sebetulnya, dalam pameran yang berlangsung hingga 8 Maret 2015 itu, ada satu lagi barang pusaka lain yang ingin dipamerkan, yakni jubah sang pangeran.
Kurator pameran, Peter Carey, menjelaskan sebenarnya ia ingin memamerkan jubah ini di Galeri Nasional. November tahun lalu, di Borobudur Writers Festival yang bertema Ratu Adil, Carey sebenarnya sudah meminta Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bisa mengupayakannya. Tapi ternyata, saat mengurus ini, prosedurnya sulit.
Jubah Diponegoro saat ini ada di Museum Diponegoro, Magelang. Tempo melihat, jubah dari kain shantung asal Tiongkok itu diletakkan di lemari kaca setinggi 2,5 meter. Panjang jubah itu mencapai 160 sentimeter. Konon, jika dipakai, panjangnya bisa mencapai lutut sang pangeran.
Carey menyebutkan jubah itu diwariskan langsung oleh Diponegoro kepada mantunya, Ali Basah Notonegoro, yang menikahi dua anak perempuan sang pangeran. Selama 130 tahun jubah itu disimpan keturunan Diponegoro.
Sejarawan asal Inggris itu menyayangkan penyimpanan jubah itu. ”Menurut saya, tidak layak disimpan di lemari, digantungkan begitu. Siapa tahu banyak rayap, bisa bolong-bolong nantinya. Jubah yang umurnya melebihi 100 tahun lebih tidak layak disimpan begitu,” ujarnya.
Dia juga menjelaskan bahwa jubah itu dipakai Diponegoro sejak awal di Tegalrejo. Dari sumber perwira Belgia diperoleh gambaran bahwa Diponegoro berpakaian lengkap seperti orang Arab, memakai sorban dan jubah serba putih. Carey menyebutkan ada kemungkinan Diponegoro kagum pada Kesultanan Ottoman. ”Mungkin beliau meniru dari Ottoman.”
Beberapa barang lain peninggalan Pangeran Diponegoro yang masih bisa dilihat di Museum Diponegoro di antaranya kursi yang diduduki sang pangeran saat berunding dengan Jenderal De Kock dan kitab Takrib (Arab gundul) tulisan tangan Kiai Nur Iman, yang diterjemahkan Kiai Melangi dari Sleman, Yogyakarta.
Kitab itu diyakini sering dibawa Diponegoro semasa hidup. Arwah Diponegoro mungkin bagi Carey akan ”kecewa” apabila menyaksikan barang-barang pusaka peninggalannya tak dirawat dengan baik.
DIAN YULIASTUTI | SENO JOKO SUYONO