TEMPO.CO, Jakarta - Samudra Beach Hotel, Pelabuhan Ratu. Kamar nomor 308. Entah mengapa kamar itu masih dipercaya sebagai tempat “nenuwun” kepada penguasa laut selatan. Satu jam tarif bermeditasi di situ Rp 600 ribu.
Dua tahun lalu padahal masih Rp 350 ribu. Sebuah foto repro lukisan Basoeki Abdullah: Nyai Roro Kidul, bermahkota, menyeruak dari gelombang ganas, terpampang di dinding.
Di situ ada tanda tangan Basoeki, tahun 1981, dengan tulisan: “Nyaosaken gambaran panjenengan dalem kanjeng pengetan. Saking abdi dalem, Basoeki Abdullah.”
Sebuah lukisan Nyai Roro Kidul lain diletakkan di depan altar sesaji. Lukisan itu mirip karya Basoeki tahun 1950, koleksi istana Yogya. Sang Nyai berkemben hijau, muncul mengurai rambutnya, melayang di tengah gelombang yang berputar-putar menakutkan. “Ini bukan asli,” kata Uspi Hendrik, petugas Hotel Samudra.
Peniru lukisan itu–dari tanda tangannya juga bernama Basoeki tapi bukan Basoeki Abdullah melainkan Basoeki Benowo. Entah siapa dia. Ada satu lagi lukisan Ratu Kidul yang menjiplak gaya Basoeki di kamar itu. Sang Ratu kali ini duduk di atas sebuah batu besar di tengah laut, didampingi seekor ular besar.
Basoeki Abdullah atau Pak Bas, pelukis kenamaan tersebut, meninggal pada 5 November 1993 di usia 78 tahun. Kematiannya tragis. Seorang pencuri masuk ke kamarnya, di Jalan Keuangan Raya 19, Jakarta, dengan niat menjarah koleksi arlojinya.
Tatkala Basoeki tergeragap, sang pencuri menyambar bedil koleksi Basoeki yang ada dalam almari dan menghantamkannya ke kepala sang pelukis. Januari lalu, dihitung dari tahun kelahirannya (ia lahir pada 27 Januari 1915) genap 100 tahun Basoeki.
TIM TEMPO