TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara Teater Mandiri, Putu Wijaya, memulainya dengan percakapan sepasang suami-istri, Amat si ketua rukun tetangga dan istrinya. Mereka membicarakan tuntutan warganya yang keberatan dengan rencana pembangunan megaproyek milik Nyonya Baron van Iblis. Selesai berbincang, Amat pun berangkat menemui sang nyonya besar.
Tentu saja kedatangan Amat (Zulfi) disambut dengan hangat di rumah Nyonya Baron yang megah dan mewah. Lelaki tua itu sudah pasti sangat kikuk dengan sambutan hangat plus jamuan makan malam yang mahal. Bukan tanpa maksud Nyonya Baron (diperankan Dwi Hastuti) menjamu Amat. Sebab, dia ingin ketua RT itu tak terprovokasi oleh warga. Bahkan kalau bisa Amat mendukung rencananya: membangun gedung megah 30 lantai, lengkap dengan berbagai fasilitas hiburan mewah yang memanjakan lahir dan batin.
“Jangan takut pada pembangunan dan perubahan Pak RT. Takutlah pada takut. Megaproyek ini juga untuk kesejahteraan warga,” ujar Nyonya Baron kepada Amat. Amat pun hanya manggut-manggut. Adegan ini mengawali pentas Trik yang digelar Teater Mandiri di Bentara Budaya, Kamis-Jumat, 29-30 Januari lalu. Lakon ini pernah dipentaskan Putu pada 2011 untuk pergelaran Jakarta Anniversary Festival sekaligus ulang tahun teater ini yang ke-40.
Putu seperti biasanya menyindir kelakuan dan mental manusia Jakarta dan Indonesia untuk mengeruk kekayaan sebesar-besarnya. Kali ini jutawan bernama Nyonya Baron van Iblis menjadi tokoh utama pertunjukan itu. Nyonya besar ini dibenci penduduk sekitar karena rencananya membangun megaproyek itu bakal menggusur rumah warga. Warga sepakat menolak meskipun sang nyonya mengiming-imingi mereka pekerjaan.
“Apa Bapak sudah menyampaikan bahwa dulu di tempat ini para pahlawan berjuang dan dikuburkan di sini? Apa Bapak juga sudah menyampaikan air di tanah ini jernih dibanding permukiman lain?” ujar istri Amat, yang nyerocos marah ketika suaminya pulang dari rumah Nyonya Baron.
Putu juga menampilkan sikap dan mental paradoks serta kemunafikan yang sering muncul. Meski menolak, mengkritik, dan marah, tetapi tetap tak berdaya ketika uang bicara. Meski hanya uang recehan. Seperti ketika istri Amat yang tetap saja menyambar amplop pemberian Nyonya Baron. Dia pun tetap bermanis muka ketika berhadapan dengan si nyonya dan berharap suaminya jadi mandor proyek dengan gaji Rp 50 juta per bulan, seperti yang digunjingkan warga kampung.
Dengan cerdik, Putu menggiring cerita menuju puncak dengan menampilkan konflik pada kemarahan warga yang meluap. Provokasi dengan bendera merah putih dipasang terbalik menjadi alatnya. Warga membakar rumah sang nyonya. Tentu saja nyonya jutawan ini tak sedih ketika rumahnya dibakar, malah senang dan berterima kasih kepada Amat.
Bisa ditebak, tentu saja karena ini merupakan inti cerita pentas kali ini. Menyuguhkan siasat yang dilakukan si nyonya besar. Dengan rumahnya dibakar, dia mendapat kompensasi dalam jumlah besar dari perusahaan asuransi. Sayangnya Putu tak menghadirkan pertentangan lain dengan siasat atau trik yang sudah sering dijumpai. Dia tak terlalu bersiasat lebih keras untuk mempertontonkan keserakahan dan kerakusan si tokoh. Akhir cerita diselesaikan dengan sederhana begitu saja.
Putu menjelaskan sedikit latar belakang pementasan ini. Menurut dia, situasi dalam pementasan tersebut marak terjadi saat ini. Berdalih memberikan kesejahteraan, memberi sesuatu yang baik, indah tapi di balik janji banyak masalah. “Kok, saya melihat makin ke sini makin banyak. Ini seperti pisau bermata dua, tapi banyak penipuannya,” ujar Putu seusai pementasan.
Lakon ini, kata Putu, sebenarnya merupakan gabungan dua cerita pendek yang ditulisnya dan dimuat di dua media yang berbeda. Dua cerita itu adalah Trik dan Bendera. Kedua cerita itu lalu diubah menjadi naskah teater. Tapi, bagi Putu, tak sulit untuk mengubahnya menjadi naskah drama. Karena kedua naskah cerita itu lebih banyak berisi dialog, dia tinggal menyesuaikan saja.
Yang agak berbeda dari naskah cerita dan lakon ini adalah tokoh si nyonya jutawan. Dalam naskah aslinya, tokoh utamanya seorang lelaki. Tapi masalah teknis muncul ketika dia tak mendapatkan aktor untuk melakonkan tokoh tersebut. Jadilah si Tuan Baron diubah menjadi Nyonya Baron.
Berbeda dengan pementasan-pementasan sebelumnya, kali ini Teater Mandiri tampil serba minimalis. Hanya ada enam aktor yang bermain di lakon berdurasi sekitar satu jam itu. Selain tokoh Nyonya Baron dan Pak RT, ada pula Ibu RT (Lailatin Na'ma), Pemberontak I (Taksu), Pemberontak II (Elvis Ticoalu), serta Cahya (provokator). Properti yang digunakan pun tak banyak. Di panggung hanya ada meja dan sepasang kursi kayu.
DIAN YULIASTUTI