TEMPO.CO, Jakarta - Robot itu berjalan dengan empat roda seukuran sepeda roda tiga untuk anak balita. Mesinnya berada di bawah papan seluncur bekas yang ditopang oleh rangka besi di atas roda.
Besi seperti tiang layar yang berdiri di atas papan, tersambung ke “tangan” tunggal robot yang berayun-ayun sambil menyemprotkan cat. Hasil coretannya yang seperti benang kusut, menempel di dua sisi tembok Galeri Sayap Selasar Sunaryo Art Space, Bandung.
Lewat karya berjudul Senseless Drawing Bot itu, Kanno So dan Yamaguchi Takahiro ingin menunjukkan bahwa robot pun bisa menggambar. Karya seni interaktif peraih New Face Award of the 15th Japan Media Arts Festival 2011 itu juga mengandung pesan bahwa semua orang bisa membuat gambar yang bagus.
Galeri Sayap dan Galeri Bawah Selasar Sunaryo Art Space disesaki oleh beragam karya sebagian kampiun Japan Media Arts Festival pada kurun 2009-2013. Mayoritas pemenangnya merupakan artis Jepang, dengan karya yang berkaitan dengan teknologi. Namun, dalam pameran bertajuk “Cryptobiosis, Seeds of the World” yang berlangsung pada 24 Januari hingga 15 Februari 2015 itu, kurator Nakao Tomomichi, menyingkap sisi kekunoan karya-karya canggih tersebut.
Menurut Nakao, karya-karya artistik secara esensial merupakan kapsul-kapsul waktu yang merangkum emosi seniman dalam ruang dan waktu tertentu. “Sesuatu yang tersembunyi dalam tiap karya diberikan kehidupan baru, dan akan terus hidup melalui empati pemirsa,” katanya.
Pameran hasil kerja sama Badan Urusan Kebudayaan Pemerintah Jepang dengan Selasar Sunaryo Art Space ini diadakan menjelang acara The Japan Media Arts Festival 2015. Festival yang digelar untuk ke-18 kalinya sejak 1997 itu akan berlangsung pada 4-15 Februari 2015 di National Art Center, Tokyo. Sebanyak 3.853 karya kiriman seniman dari 71 wilayah dan negara bakal memperebutkan penghargaan untuk empat bidang, yakni seni rupa, hiburan, animasi, dan manga (komik Jepang).
Judul Cryptobiosis, yang diambil dari kamus biologi, dipakai untuk mewakili tema pameran. Istilah tersebut merujuk pada perilaku hewan dan tumbuhan yang menghentikan aktivitas kehidupan sementara untuk bertahan hidup dari lingkungan alam yang ekstrem. Nakao pun membagi kumpulan karya tersebut ke dalam tiga kelompok.
Kelompok pertama berkaitan dengan kenangan dan munculnya kemampuan tersembunyi. Total, ada enam karya di kelompok ini. Robot pembuat grafiti itu salah satunya. Ada juga sebuah tayangan video hitam-putih berdurasi 8 menit berjudul Que voz feio (Plain Voices) karya Yamamoto Yoshihiro. Yoshihiro menampilkan dua perempuan kembar yang disandingkan pada layar dari tempat berbeda. Keduanya diminta menceritakan sebuah kejadian pada masa kecil secara bergantian.
Pengunjung pameran juga bisa puas bermain video game Gravity Rush karya Toyama Keiichiro, pemenang Entertainment Division Excellence Award of the 16th Japan Media Arts Festival 2012. Game petualangan ini memakai tokoh seorang gadis bernama Gravity Kitten. Ia kehilangan ingatannya setelah terbangun di kota terapung Hekseville. Dari seekor kucing hitam misterius bernama Dusty, pemain mendapat kekuatan untuk memanipulasi gravitasi. Kekuatan itu akan bertahap tumbuh lebih kuat setelah pemain melewati tantangan permainan.
Di kelompok kedua, ada empat karya yang dipamerkan. Karya-karya itu mewakili format serta teknik lama dan baru. Karya instalasi seniman Indonesia, Bagus Pandega, termasuk dalam kelompok ini. Berjudul Listening to the Silence, ia membuat sepasang tape yang memutar kaset tanpa suara di tengah lingkaran kumpulan pita-pita kaset. Di kelompok ini juga dipajang film animasi pendek Golden Time garapan Inaba Takuya. Film animasi peraih Animation Division Excellence Award of the 17th Japan Media Arts Festival 2013 itu berkisah tentang penolakan sebuah televisi buatan 1960-an yang dibuang pemiliknya ketika Jepang mengalami kebangkitan ekonomi pada 1980-an.
Masih terkait dengan televisi tabung, seniman Wada Ei, pemenang Art Division Excellence Award of the 13th Japan Media Arts Festival 2009, menggarap karya instalasi dan pertunjukan berjudul Braun Tube Jazz Band. Ia menjadikan tujuh layar televisi yang berjejer seperti gamelan sebagai alat musik elektronik.
Lewat usapan atau tepukan halus, televisi yang telah diatur untuk mengeluarkan nada atau suara tertentu itu dimainkan dengan satu tangan yang memegang ujung jack kabel ke pelantang suara. Saat pembukaan pameran, Wada mempertontonkan cara memainkan musik tabung jazz tersebut.
Adapun Syaiful Aulia Giribaldi menyajikan instalasi video berjudul Lurmita Fariea (Leang Leang Project). Dengan kamera lensa makro, ia merekam mikroorganik di dalam kawasan Gua Leang-leang Sulawesi, yang terkenal dengan artefak lukisan purba di dindingnya. Video tersebut dan dua karya lainnya dikelompokkan kurator ke bagian ketiga, yang mengusung tema seputar alam, arsip, dan data besar untuk menghasilkan realitas baru.
Pengamat seni Agung Hujatnikajennong mengatakan, panitia Japan Media Arts Festival setiap tahun rutin berpromosi keliling negara seperti ke Amerika dan Eropa. Di Indonesia, ini baru pertama kalinya di Bandung. “Karya yang dibawa ke pameran ini terkesan canggih sekali, tapi sebenarnya festivalnya cukup tradisional,” kata mantan kurator di Selasar Sunaryo itu.
Agung merujuk pada karya-karya komik dan video animasi yang di beberapa festival seni media seperti di Amerika dan Eropa tidak mendapat tempat. “Beberapa festival di sana malah lebih hi-tech daripada di Jepang,” kata dosen Seni Rupa ITB tersebut.
Dari sekian karya pemenang yang dipamerkan itu, Agung menilai video Que voz feio (Plain Voices) tentang cerita dua perempuan kembar soal masa kecilnya, punya gagasan yang menarik dan kuat. Dengan penyajian dan cara yang sederhana, karya tersebut dinilainya mewakili fenomena media dalam keseharian, yakni mengaburkan fakta dan fiksi dari tayangannya.
ANWAR SISWADI | NUNUY NURHAYATI