TEMPO.CO, Jakarta - Gara-gara memiliki toko di Tanah Abang, Tika Bravani hafal di luar kepala bagian-bagian dari pasar grosir terbesar di Asia Tenggara itu. Jika sedang tidak ada kegiatan, ia suka berkunjung dan membantu di toko. “Saya ini anak Tanah Abang. Saya hafal semua, tuh, blok A, B, C, F,” ujarnya kepada Tempo di Sabang, Jakarta Pusat, akhir Desember lalu.
Tika bercerita, keluarganya memiliki sebuah toko di pasar Tanah Abang yang dikelola secara turun-temurun. Kakek Tika, lalu mendiang ibunya bersama tantenya yang mengelola toko itu. Namun kini hanya tantenya yang mengurusi bisnis mereka. Toko itu menjual kain-kain belacu, selimut, serta handuk untuk rumah sakit dan hotel.
Tak hanya menjaga toko, Tika juga kerap berbelanja di pasar yang dibangun Yustinus Vinck pada 30 Agustus 1735 itu. Hampir setiap bulan Tika menyempatkan diri berkeliling, membeli kebutuhan. Bahkan, jika sedang di pasar dan melihat barang-barang yang dianggapnya lucu, ia akan langsung membelinya.
Meski begitu, Tika tak merekomendasikan belanja pakaian di pasar Tanah Abang. “Yang bagus di Tanah Abang itu mukena dan busana muslim. Karena (isi) semua toko di Jakarta bisa dirangkum di Tanah Abang, terutama baju muslim. Jilbab Elsa-lah, jilbab Dewi Sandra, segala macamlah. Tanah Abang selalu lebih duluan, baru setelah itu dijual di ITC-ITC,” Tika menjelaskan.
Boleh saja membeli baju di pasar yang awalnya hanya buka pada hari Sabtu ini. “Kalau beli baju buat oleh-oleh, perlu motif yang sama dalam jumlah banyak, nah di Tanah Abang lebih murah. Tapi, kalau baju biasa, saya enggak recommend,” katanya.
Soal toko milik keluarganya, Tika sudah diberi tugas khusus. Ia bersama seorang sepupunya yang konsultan UMKM diminta membenahi pembukuan toko dan membangun sistem pencatatan keuangan yang lebih modern. Maklum, usaha keluarga itu sudah berkembang demikian besar tapi masih menggunakan pembukuan sederhana. “Masak, cuma pembukuan tukang sayur sama kalkulator,” ujarnya tergelak.
KARTIKA CANDRA