TEMPO.CO, Makassar - Lukisan berjudul "Kampung Garam #39" menyambut saya di depan pintu masuk ruang pameran perupa di Anjungan Toraja-Mandar, Makassar, Senin malam lalu, 1 Desember 2014. Seolah mengajak bermain-main, ada banyak perahu yang siap membawa saya berlayar. Sebuah perahu layar payung yang lekat dalam ruang kanvas seolah menghalau hujan senja. Satu lagi, perahu terdampar di bibir merah. Perupa Ahmad Anzul, tak hanya ingin mengajak bermain dalam bidang kanvas. Lukisannya juga dilengkapi karya instalasi.
Di atas sepotong kain kafan dengan percahan tinta cumi, perahu-perahu kertas tertempel. Sepiring garam dengan huruf-huruf tersuguh di lantai yang beralaskan kain kafan. Kain ini sempat dipakai Asdar Muis R.M.S. pada pentas di Fort Rotterdam, akhir Oktober lalu. Karya Asdar ini memang didedikasikan untuk almarhum. “Bicaramu laut, inginmu hujan.”
Di sisi kanan pintu kedua, perupa Firman Djamil mencoba melayarkan perahunya di atas gelombang rambut. Perahu dalam lukisan berjudul "Transmission" ini hanya bisa berlayar jika dua figura digabungkan. Batas figura seolah berfungsi sebagai cermin, dua lukisan ini nyaris sama. Perempuan di sisi kiri, lelaki di kanan, yang membedakan hanyalah bentuk dada pinggulnya yang lebih berisi. Tubuh dan rambut dua manusia ini adalah satu kesatuan. “Rambut adalah bahtera, perahu adalah bagian dari lambang pencipta,” ungkapnya.
Bukan hanya Firman, Zam Kamil juga mencoba mengeksplorasi tubuh-tubuh manusia dalam karyanya yang berjudul "Homo Hamini Lupus". Lima tubuh manusia yang berkepala binatangayam, kambing, tikus, rusa, dan anjingdan dua manusia bergerak layaknya binatang. “Ini adalah parodi sipakatausaling mengingatkan,” ujar Sarjana Seni Rupa Murni di Fakultas Seni Rupa Institut Seni Indonesia itu.