TEMPO.CO, Malang - Roadshow Festival Film Indonesia (FFI) 2014 di Malang berlangsung meriah, Jumat malam, 21 November 2014. Sebanyak 260 pecinta film, sineas, dan pegiat film menyaksikan empat film yang diputar di Rumah Makan Ringin Asri, Malang.
Empat film yang diputar terdiri dari film fiksi panjang, fiksi pendek, animasi, dan dokumenter. "Filmnya bagus, menginspirasi," kata pegiat film asal Malang, Lefin. (Baca juga: Roadshow FFI 2014 Mampir di Malang)
Film berjudul Onomastika kental dengan budaya Kutai Kertanegara. Sedangkan film Tabularasa merupakan perkawinan budaya, gestur, dan dialek Minang dan Papua. Bahkan kuliner khas Minang juga dihadirkan dalam film tersebut.
Setelah melihat Tabularasa dan Onomastika, Lefin tertantang membuat film yang menonjolkan kekayaan alam, budaya, dan adat istiadat di Nusantara. Ragam budaya Nusantara, katanya, tak bakalan habis meski dieksplorasi dalam beragam film. "Banyak budaya yang bisa diangkat. Sekarang tergerus film Korea dan barat," katanya.
Menurut Lefin, sineas di Indonesia tak banyak yang menggarap film dengan kekuatan budaya Nusantara. Mereka cenderung menyuguhkan film berbau horor hanya untuk memenuhi kebutuhan penonton. Selain itu, masyarakat diharapkan mengapresiasi film Nusantara dengan menonton dan membeli tiket di bioskop.
Aktris Dewi Irawan berpendapat banyak sineas yang bekerja idealis untuk menghasilkan film berkualitas. Seperti film Tabularasa yang digarap serius agar sejajar dengan film mancanegara. Namun, ironisnya jumlah penonton kalah dengan film bergenre horor. "Sampai saat ini Tabularasa ditonton 50 ribu orang," katanya.
Panitia pelaksana FFI 2014, Yan Widjaya, menjelaskan jika saat ini mulai banyak sineas di daerah yang memproduksi film. Antara lain sineas Banten, Purbalingga, Makassar, dan daerah lain. Mereka mengangkat kebiasaan, budaya, dan kesenian daerah.
EKO WIDIANTO
Berita lain:
Mengintip Sistem Belajar Sekolah Anak Jokowi
Setelah Risma, Ahok dan Ganjar Diusik Prostitusi
Bisnis Penginapan Ramaikan Ritual Seks di Kemukus