TEMPO.CO , Makassar: Alunan irama tumbukan alu ke lesung terdengar bersahut-sahutan. Permainan ini dikenal sebagai permainan pa’dekko, musik tradisional yang biasanya dimainkan saat pesta panen padi. Pemainnya terbagi menjadi dua kelompok, yakni pa’padendang yang bertugas menumbuk lesung, dan sere melakukan tarian mengitari lesung. Permainan ini sangat digemari masyarakat Sulawesi Selatan, dan biasanya digelar di tempat terbuka, seperti di sawah dan pekarangan rumah.
Sabtu malam lalu kelompok Sanggar Seni Pattallassang, Takalar, memainkannya di halaman Fort Rotterdam Makassar, dalam acara Makassar Ethnic Music Percussion Festival 2014. Berbeda dengan permainan pa’dekko saat pesta panen padi, irama alu ke lesung dikembangkan, dipadukan dengan alat musik modern, seperti gitar bas dan keyboard. Perpaduan irama etnik dan modern ini menghasilkan irama-irama yang bervariasi dan sangat bernuansa pembaharu. Meski demikian, nuansa kebersamaan dalam permainan pa’dekko ini masih terasa kental.
Sedangkan Kelompok Latimojong Perkusi Makassar juga mencoba menceritakan kebersamaan melalui warna-warna musik yang sangat bervariasi, dengan mengadopsi lagu Cincing Banca—lagu yang biasa dinyanyikan anak-anak kala sedang bermain. Tiar Lakiung Gowa tampil dengan permainan yang sangat ekspresif dan emosional. Melalui perpaduan irama-irama musik perkusi, mereka mencoba menggambarkan penyatuan permainan beberapa emosi dari enam orang. Masing-masing empat yang menabuh gendang, satu memetik gitar, dan satunya lagi menggesek biola.
“Sebut ada, tapi sudah ada. Sebut tidak, tapi sudah ada…”, kalimat pengantar yang disampaikan pembawa acara, mengawali penampilan Komunitas Seni Tadulako, yang menghadirkan permainan musik yang dipenuhi nuansa etnik. Irama-irama yang dihadirkan seolah membawa kita terdampar pada ruang-ruang tradisi yang sangat khas. Komunitas asal Palu, Sulawesi Tengah, ini memang senantiasa mementaskan musik dengan mengacu pada tradisi yang tumbuh di daerah tersebut.