Hal itu, kata dia, menjadikannya berbeda dengan sistem pendidikan di Eropa. Sekarang yang perlu dipikirkan adalah bagaimana mendidik anak-anak dan mengajarkan tentang seks.
“Sesungguhnya psyche tidak pernah menemukan identitasnya. Psyche selalu mencari hal yang menyenangkan,” kata Alwy. “Karenanya, bacaan-bacaan kita yang beraneka ragam itu memerlukan elaborasi.”
Namun membandingkannya dengan film porno, Alwy menilai, akan sangat berbeda. Menurut dia, karya erotik yang ditulis dalam kalimat akan lebih longgar daripada karya visual. Sebab imajinasi penonton akan terdikte oleh tokoh alias aktornya. “Membaca itu memberikan ruang imajinasi yang lebih bebas.”
Hal serupa diungkapkan Hendragunawan S. Thayf, dosen di Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin yang juga seorang penyair. Menurut dia, tulisan itu jauh lebih toleran dibanding karya visual.
Penjelasan soal ini dianggap mencerahkan bagi David Pasaribu dari Manokwari, Papua. “Saya sekarang tahu apa yang membedakan membaca dengan menonton,” katanya seusai diskusi yang digelar Penerbitan Kampus Identitas Unhas, bekerja sama dengan Perhimpunan Penulis Literasi Makassar alias Komunitas Literasi ini.
IRMAWATI
Berita lain:
Menlu AS John Kerry Hadiri Pelantikan Jokowi
Jika Jadi Menteri, Pos Ini Milik Puan Maharani
Cerita Manajer Lion Air Ngamuk Versi Penumpang