Sekitar 20 tahun terakhir ini, Alwy menilai, hadir sastra pop. Sebut saja Ayu Utami, Dewi Lestari alias Dee, dan Moammar Emka. Karya-karya mereka mendeskripsikan kemunafikan orang-orang kota, menjadi lambang perlawanan sosial seperti yang dilakukan Arundhati Roy, penulis India yang terkenal piawai mengolah bahasa. Satu novel Arundhati yang mendapat tanggapan dan kritik beragam adalah The God of Small Things (Yang Maha Kecil).
“Suka atau tidak, akan segera mulai sastra tandingan, sekarang ini sedang berlangsung,” kata Alwy. Menurut dia, kehadiran literasi erotik itu merupakan hal yang tidak terhindarkan. “Malah mungkin di Indonesia akan menjadi sebuah profesi.”
Lagian, Alwy menambahkan, sesungguhnya jiwa manusia itu kekanak-kanakan dan liar. Tapi, jiwa itu bisa dikendalikan lewat cerita. Makanya sangat penting sebuah story bagi setiap orang. “Jika psyche (jiwa) Anda liar,” kata Alwy, “bisa-bisa membuat porno linguistic.”
Alwy menilai, jika generasi muda mudah terjerumus oleh hal-hal yang berbau erotik, itu akibat rasa penasaran dan kurangnya pengetahuan tentang hal tersebut. Sebab, pendidikan dasar dianggap tidak menyediakan hal-hal mengenai erotik. Dia berpendapat, pendidikan nasional dipenuhi dakwaan dan pengajaran moral. “Sehingga saat membicarakan atau membahas masalah seks, maka akan dianggap jahat.”