Manajer katakerja itu mengungkapkan, kelas ini dibuka atas dorongan beberapa pihak yang ingin melestarikan salah satu kebanggaan budaya Bugis-Makassar itu. Meski kelas ini dibuka untuk umum, hanya mahasiswa yang terlibat, itu pun jumlahnya tidak banyak.
Pelajaran pertama yang diberikan adalah mengenal huruf Lontaraq. Sebab, di antara peserta, masih ada yang tak mengenal huruf itu dan penyebutannya. “Setelah itu, baru belajar membaca, berbicara, dan menyimak,” kata Eka.
Selain kelas belajar, cara yang dianggap efektif adalah berbahasa daerah ketika berkomunikasi dengan orang sesukunya. “Seandainya SMS (pesan pendek ponsel) bisa pakai Lontaraq, saya gunakan. Selama ini saya hanya mengaku orang Bugis, tapi tak bisa berbahasa Bugis,” kata Eka.
Menurut Nurhayati, masyarakat Bugis-Makassar semestinya tak perlu sungkan menggunakan bahasa ibu mereka. Sebab, lewat itu, dunia akan lebih mengenal bangsa kita dengan karakter asli yang telah dibangun oleh para leluhur.