Menurut Rino, seluruh lirik dalam lagu yang mereka bawakan berasal dari sastra lisan yang ditemukan di kawasan Candi Muara Takus, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau. Dari hasil penelusuran, ditemukan sedikitnya 15 jenis sastra lisan yang dilantunkan. Di antara temuan itu, hanya sembilan yang mampu diterjemahkan menjadi permainan musik. “Kami sempat kesulitan saat mengubah sastra lisan tersebut menajdi musik,” ujar Rino. Selain sastra lisan, mereka mengeksplorasi alat musik khas masyarakat Kampar, yakni gambang dan calempong.
Seluruh lirik sastra lisan ini menceritakan kehidupan, ketuhanan, dan cinta. Kisah ini biasa dilantunkan untuk menyambut raja-raja. Karena itu, Rino berpendapat, penggunaan musik kala itu tidak bernada cepat. “Tidak mungkin menyambut raja dengan keras dan kencang. Pastinya lambat,” tutur dia. Agar tetap terkesan modern, dipadukanlah lirik dengan musik cepat.
Kelompok musik Riau Rhytm ini sengaja mengangkat kisah-kisah hikayat masyarakat lokal untuk diaransemen ulang menjadi musik. Menurut Rino, menjaga kelestarian kebudayaan lokal melalui musik adalah keharusan. Ia juga mengajak para pemusik untuk tetap menggaungkan kebudayaan dengan mengekspresikannya, tanpa harus terlihat tradisional.
Pegiat musik lokal, Arifin Manggau, kagum atas pertunjukan Riau Rhytm. Menurut dia, ini merupakan salah satu cara untuk membangkitkan seni musik tradisional. “Karya ini adalah aset negara yang mesti tetap dijaga,” kata dia.
Dosen Universitas Negeri Makassar itu juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap kesenian lokal di Makassar yang kurang diperhatikan. Kehadiran Riau Rhytm diharapkan menjadi penyemangat buat para pemusik lokal. “Tentunya dengan menonjolkan budaya Bugis-Makassar,” kata Arifin.
SUTRISNO ZULKIFLI
Berita lain:
Mobil-mobil Ini Didesain Khusus untuk IIMS 2014
Bukan Trah Soekarno, Mentok Jadi Sekjen PDIP
Polwan Cantik, Jerawatan Jadi Mulus