Beberapa kalangan mengatakan pengaruh Anda di dunia komedi Indonesia saat ini begitu besar karena berhasil mengangkat genre stand-up comedy dan meminggirkan lawakan slapstick...
Saya ini berangkat dari komedian tradisional: ludruk. Ketika muncul genre baru stand-up comedy yang dinilai cerdas, justru saya anggap tidak juga. Kalau mau fair, komik yang tidak menunjukkan kecerdasan itu banyak. Pelawak, walaupun tradisional dan tidak bersekolah tinggi, justru punya kecerdasan itu. Misalnya, Srimulat. Dulu mereka bisa menghibur dari buruh sampai pejabat. Itu cerdas. Meski terkesan kelihatan tidak pintar, itu adalah peran yang mereka mainkan. Mereka bisa memainkan emosi penonton. Saya paling tidak setuju jika stand-up comedy dianggap lebih pintar. Itu jelas salah. Itu anggapan orang yang tidak mengerti.
Menurut Anda, kenapa genre stand-up comedy bisa hidup di Indonesia saat ini?
Karena masyarakat kita semakin individualis. Di Barat, komik sudah lama tumbuh karena sedari dulu kulturnya individu. Kalau kita, berkesenian, ya, berkomunal, berkelompok, karena memang lebih bisa bersosialisasi. Kalau di Amerika, untuk bikin grup yang terdiri atas 4 orang saja susah. Mereka lebih gampang sendirian, bisa lebih optimal. Tapi, sekali lagi, bukan cuma karena faktor komiknya pintar sehingga bisa populer. Kalau mereka anggap diri sendiri lebih pintar daripada pelawak lain, kenapa baru sekarang nongol? Berarti mereka dulu bego-bego,dong.
Kenapa acara lawak sekarang banyak yang cenderung seragam?
Saya juga prihatin. Kita ini seperti orang latah. Televisinya banyak tapi seragam. Harusnya kita bisa kasih alternatif. Harus berani begitu, karena bagaimana pun tidak mungkin orang Indonesia punya selera yang sama. Kita harus melihat celah itu. Lihat saja National Geographic. Mereka berani.
Namanya industri hiburan bukankah mencari untung?
Buah saja musimnya tidak latah. Ketika rambutan lagi musim, durian tidak perlu ikutan. Ada masanya sendiri-sendiri. Kita harus begitu juga.
Bagaimana rasanya dilabeli sebagai seorang pelawak...