TEMPO.CO, Jakarta -- A villain is just a victim whose story hasn’t been told—para penjahat adalah korban yang kisahnya belum pernah dituturkan. Begitu tulis bintang serial Glee, Chris Colfer, dalam bukunya The Land of Stories. Kesempatan menceritakan kisah dari sudut pandang sang antagonis akhirnya diberikan Disney pada Maleficent, peri jahat yang memberikan kutukan tidur layaknya mati pada Aurora, si Putri Tidur.
Dulu, ada masanya ketika seorang Maleficent bukanlah sosok yang ditakuti. Peri bertanduk dan bersayap kuat seperti elang ini adalah pelindung Moor, kerajaan ajaib tempat tinggal makhluk-makhluk dongeng. Sejak kecil ia juga bersahabat dan mencintai seorang anak manusia bernama Stefan.
Penguasa kerajaan manusia yang bertetangga dengan Moor, yakni Raja Henry, mendendam pada Maleficent yang mengalahkannya . Ia bertitah siapa pun yang bisa membunuh “perempuan bersayap” ini dapat menikahi putrinya dan menjadi penerusnya. Stefan yang berambisi besar dan gelap mata lalu memotong sayap Maleficent, kemudian menyerahkannya pada Raja. Stefan pun menikahi sang putri dan naik tahta.
Selanjutnya adalah adegan ikonik dari dongeng Putri Tidur, yaitu ketika Maleficent melempar kutukannya pada Aurora. Untuk memperkuat nuansa bahwa film ini adalah perspektif lain dari film animasi Sleeping Beauty buatan Disney tahun 1959, sebagian dialog dalam adegan ini sama persis dengan film Disney pendahulunya.
Masih setia dengan rangka cerita Sleeping Beauty, Aurora kemudian dibesarkan oleh trio peri yang menyamar sebagai manusia. Hanya dalam versi ini, ketiga peri warna-warni ini terlihat sangat inkompeten dalam urusan mengurus anak.
Akhirnya Maleficent —yang diam-diam mengawasi—malah menjadi “ibu peri” yang membesarkan, bahkan mulai sayang pada sang putri. Mungkin, ia terkena kutukannya sendiri yang menyebutkan bahwa sang putri akan dicintai oleh semua yang mengenalnya.
Angelina Jolie, yang memiliki wajah dan perawakan berkarakter kuat, memang cocok memerankan tokoh Maleficent, apalagi dengan tambahan prostetik yang makin menonjolkan tulang pipinya. Ini adalah film pertama Jolie setelah absen selama sekitar empat tahun. Meskipun absen cukup lama, ia mengeksekusi beberapa adegan kunci dengan cukup baik.
Salah satunya ketika Maleficent yang dibius Stefan terbangun dan menyadari bahwa sayapnya telah dipotong oleh pria itu. Sekadar informasi, beberapa pihak menganggap bagian ini sebagai metafora pemerkosaan, yang kemudian diakui pula oleh Jolie.
Efek visual mentereng menjadi hal yang wajib untuk film ini, mengingat Maleficent mengambil tempat di dunia dongeng yang magis. Apalagi film ini juga ditayangkan secara 3D. Karena itu, tak mengherankan selain visual pemandangan yang apik, adegan aksi seperti saat Maleficent terbang dan menukik cepat di antara lereng pegunungan pun asyik ditonton.
Diceritakan dari sudut pandang tokoh “antagonis”, penggambaran dunia dongeng ditampilkan dengan cukup kelam. Meskipun begitu, jangan terlalu berharap film ini akan sepenuhnya bernuansa gelap hingga ke tulang-tulangnya.
Dengan plot tunggal sederhana—bahkan bisa dibilang mudah ditebak—film ini dapat dengan mudah dikunyah seluruh anggota keluarga. Padahal, sebenarnya Maleficent memiliki modal yang cukup untuk menjadikan film ini agar bisa digali lebih dalam dan “dewasa”.
Pasalnya, tokoh Maleficent tak hanya dikhianati. Sayap kebanggaan yang membuatnya mampu terbang bebas dan merupakan bagian dari identitasnya sebagai seorang peri telah dicerabut darinya. Sosok yang sama juga beberapa kali mengalami transformasi drastis, dari pelindung, menjadi pendendam yang sampai hati mengutuk bayi tak berdosa, hingga kembali menjadi sosok pelindung.
Namun, dinamika perasaan Maleficent terhadap Aurora ini malah lebih banyak ditampilkan dalam nuansa komedi. Mengingat mayoritas film keluaran Disney ramah keluarga, rasanya tak heran pendekatan inilah yang akhirnya dipilih untuk Maleficent.
RATNANING ASIH
Berita lainnya:
Ratusan Selebriti Hadiri Festival Film Shanghai
Penyanyi Jazz Jimmy Scott Tutup Usia
Anggun Segera Luncurkan Parfumnya