TEMPO.CO, Jakarta - Menonton wayang golek dengan satu kelir atau layar sudah jamak bagi penikmat wayang. Tetapi dalam pertunjukan wayang golek pesisiran atau dikenal juga dengan sebutan wayang golek cepak Tegal, penonton akan menemukan sensasi baru yang lain dari biasanya. Setidaknya ini bisa dirasakan saat menonton pertunjukan wayang golek pesisiran garapan dalang Sri Waluyo yang digelar Yayasan Budaya-ku di Gedung Kesenian Jakarta, Sabtu dan Ahad, 24-25 Mei 2014.
Sri Waluyo mengemas pertunjukan wayang dengan lakon Jamaludin the Robber atau Jamaludin Begal (Perampok) itu dalam konsep wayang golek yang modern. Dia memodifikasi wayang yang mengangkat cerita rakyat setempat dengan layar yang berlapis-lapis. Tak hanya itu, dia pun mengajak empat dalang lain untuk membantunya selama pertunjukan berlangsung. Hasilnya, pertunjukan selama 90 menit itu jadi lebih dinamis. Wayang Jamaludin dan Sutijah, kekasihnya, bisa berpindah-pindah dari satu layar ke layar yang lain.
Sri Waluyo memulai pentasnya dengan sepasang wayang, lalu dilanjutkan koreografi yang ditarikan oleh Cahwati dan Heru Purwanto. Keduanya digambarkan sedang bercinta. Adegan tersebut diiringi alat musik tradisional yang dimodifikasi dalam nada diatonis oleh Gunarto Gondrong. Belum sempat keduanya menyelesaikan tarian, seorang narator tiba-tiba meminta mereka berhenti dengan dengan guyonan. Sengaja mereka membuat skenario ini. “Ini kita mau ada tanggapan wayang golek, tapi bukan sembarang wayang golek,” ujar Titus dan Mackculan Baihaqi saat pentas gladi resik, Jumat lalu.
Setelah interupsi tersebut, barulah para dalang memulai pentasnya. Sepasang wayang golek yang disebut Jamaludin dan Sutijah terlihat di layar bagian depan, sementara bayangan sepasang penari bergerak perlahan menjadi latar wayang goleknya.
Lakon Jamaludin the Robber menyuguhkan sebuah pasowanan Kerajaan Kemiri. Patih Sabrang melaporkan salah satu lurah menolak membayar upeti. Lurah itu tak lain adalah ayah Jamaludin. Raja lantas memerintahkan patih untuk menghukum ayah Jamaludin. Pasowanan bubar dan tiba-tiba lurah datang. Tujuannya untuk melamar putri raja yang tak lain adalah Sutijah. Tentu saja itu berujung pada penolakan dan murka sang patih, yang lalu mengusir lurah dan Jamaludin. Desa mereka pun dibumihanguskan.
Sri Waluyo berhasil memikat penonton dengan aksi keroyokan dengan empat dalang lain. Gado-gado sabetan wayang , iringan musik, dan koreografinya pun tak kalah memikat. Penonton tak akan jemu dengan aksi wayang yang monoton di satu layar seperti yang biasa dilihat selama ini. Di tangan Sri Waluyo dan teman-teman dalangnya, pertunjukan wayang golek menjadi lebih hidup dan kocak dengan gerakan-gerakan yang dimainkan. Dalang tak hanya diam di depan layar, tapi ikut bergerak dari satu layar ke layar lain. Para dalang bahkan keluar dari balik layar, berlarian dan menari bersama goleknya. Efek lampu juga menjadi penunjang penting bagi pentas wayang cepak Tegal ini. Ini menjadi salah satu taktik si dalang untuk menyiasati efek seperti pentas wayang kulit.
Sri Waluyo mencoba memodifikasi wayang tradisional khas tanah kelahirannya ini. Tak seperti wayang golek dari daerah lain yang mengambil cerita Ramayana-Mahabarata, wayang pesisiran Tegal ini mengangkat cerita rakyat setempat. Meskipun demikian, Sri Waluyo tak lantas meninggalkan pakem asli wayang, tapi memunculkan pentas gado-gado tadi. “Saya ingin penonton itu menonton wayang seperti nonton sinetron,” ujar Sri Waluyo sebelum gladi resik. Dia juga ingin masyarakat, terutama generasi muda, mengenal wayang golek khas Tegal yang sudah hampir tak dikenal lagi ini.
Meski wayang itu disebut khas Tegal, penonton tak akan kesulitan mencerna cerita yang sederhana ini. Karena para dalang tak menggunakan bahasa Tegal. Bahkan tak ada sama sekali dialek Tegal seperti yang diucapkan salah seorang komedian televisi, Parto. Untuk memudahkan penonton mencerna cerita, mereka menggunakan bahasa Indonesia yang kadang-kadang dicampur bahasa Jawa.
Sayangnya, alur cerita yang sederhana tentang kisah cinta Jamaludin-Sutijah, yang kemudian membuat Jamaludin jadi perampok, ini tak mampu diterjemahkan secara runtut dan gamblang oleh dalang. Inilah mungkin yang menjadi alasan koreografi dipakai untuk memperkuat cerita dan adegan wayang.
DIAN YULIASTUTI
Berita lain:
Purdi Chandra Ditahan, Primagama Tak Goyang
Buka Kantor di Jakarta, Apple Tawarkan Lowongan
Cokelat Cadbury Mengandung Babi?
Anggun Raih Penghargaan di World Music Awards
Ponsel Pintar LG G3 Berteknologi Sinar Laser