TEMPO.CO, Bandung - Sebuah keset kecil seukuran sikat lantai nyaris terinjak. Keset bertuliskan "Welcome Artsy" karya Mardiyyan Nur Zaenudin itu dipasang di dekat pintu masuk untuk menyambut para seniman dan pengunjung pameran bersama Mini Art Project ke-5 di Galeri Soemardja ITB.
Eksibisi yang berlangsung 9-17 Mei 2014 tersebut memajang 88 karya. Para seniman mengerahkan kemampuan teknik dalam rupa gambar (drawing), grafis, lukisan, foto, video, sulaman, patung, serta kinetik. Semuanya sesuai dengan tema eksibisi, yakni wajib tampil dengan ukuran terbatas 15 x 15 x 15 sentimeter.
Trio kurator, Danoeh Tyas; Bob Edrian; dan Zusfa Roihan, kali ini menantang peserta pameran dua tahunan itu dengan tema kolosal. Mereka ingin membenturkan kesan yang besar dalam benda yang kecil. Terlihat sebagian karya peserta sanggup membenamkan ide itu pada karya mini mereka, ada pula yang terkesan hanya sebagai barang kerajinan. "Kolosal itu misalnya peristiwa, tokoh, atau satu adegan cerita. Orang butuh modal tahu sejarah, dongeng, mitos, atau biografi tokoh," ujar Danoeh. Selain dari narasi itu, kesan kolosal juga dibangun lewat garis, tekstur, dan bidang.
Anna Josefin memakai kertas berlapis-lapis untuk membuat citra lapisan dan kontur tanah yang dikeduk jauh ke dalam pada penambangan emas. Karya berjudul Grasberg itu semacam miniatur kondisi alam yang dimaknai polos dengan total warna putih, lalu ada sebongkah emas di dasarnya. Tema tentang emas juga disajikan Danni Febriana dalam karya berjudul Golden Apple. Apel emas di dalam kotak kaca itu bertalian dengan mitologi Yunani tentang awal mula Perang Troya.
Gambar semut hitam berbaris berjudul Colony menjadi pilihan karya Mochamad Haris Triadi. Sedangkan Niko Wiratama mengolah dedaunan dan tanah liat menjadi patung "rumah" telur serangga. Adapun dua karya lain, garapan Natasha Cindy dan Wanda Astiani, sama-sama memakai bulir beras sebagai awan dan hujan serta pembentuk citra wajah perempuan berkerudung.
Dari kisah sejarah pada abad modern, S.E. Dewantoro mengangkat cerita pembantaian manusia di sejumlah kota di Indonesia. Kotak berbalut kain merah memuat selembar foto hitam-putih yang menampilkan sekumpulan korban dengan tangan terikat. Jarum-jarum pentul yang tertancap di dalam kotak menandakan lokasi peristiwa dan jumlah korban yang mati. Aroma perang dan korbannya juga dipilih Andinar Candranaya dengan replika ranjau berjudul 1939.
Beberapa karya menarik lain antara lain disajikan Ali Yan Muchtar, yang menempatkan sepotong kulit manusia dalam cairan formalin di tabung kaca dengan judul Mati untuk Tumbuh Kembali. Sedangkan eksperimen Meita Meilita ihwal citra hasil campuran warna ungu, jingga, dan hijau ditampilkan dengan sulaman benang berbingkai lingkaran pembidang. Adapun Maruto Adi menyampaikan kritik lucu dengan menggambar bentuk-bentuk gunung dan sawah yang biasa digambar anak-anak sekolah dasar. Berbentuk buku mini, karya itu berjudul panjang: Untuk Seluruh Murid Indonesia yang Gurunya Masih Mooi Indie Banget.
Pameran yang digagas pertama kali oleh mahasiswa Seni Rupa ITB pada 2007 itu semula dijadikan ajang untuk memamerkan karya hasil kreasi mereka sendiri. Sejak 2012, pameran dibuka untuk semua penggiat seni. Tema perdana, Scale, berfokus pada skala ukuran 15 x 15 x 15 sentimeter. Tema pameran selanjutnya yaitu Metaphora, Recreate x Reality x Representation, kemudian Mind-Eye. Seperti temanya yang berganti-ganti, kurator pameran tersebut juga tak pernah tetap, di antaranya Albert Yonathan, Riezky Putra, dan Sally Texania.
ANWAR SISWADI