TEMPO.CO, Jakarta - Kaget. Itu yang dirasakan Sely Martini, 36 tahun, saat mengetahui kemenangannya sebagai Best Activist in a Leading Role dalam acara yang dikenal dengan Oscar Kejujuran, International Honesty Award 2014, awal tahun ini. Penghargaan itu diprakarsai oleh dua organisasi yang bergerak dalam bidang transparansi, ONE dan Accountability Lab, guna mengapresiasi para pejuang antikorupsi di berbagai belahan dunia.
Bagaimana tidak? Empat aktivis antikorupsi tersohor dikalahkan Sely yang meraih 54 persen dari 6.700 suara yang masuk. Sebut saja John Gitongo (Kenya), Aruna Roy (India), Gregory Ngbwa Mintsa (Gabon), dan Xu Zhiyong (Tiongkok). “Saya dapat suara dari banyak orang di berbagai negara. Itu yang membuat saya takjub. Apalagi saya tahu nominator lain adalah orang-orang hebat di negaranya,” ujarnya saat ditemui Tempo di rumahnya yang asri di Dago, Bandung, Selasa sore lalu.
Baca Juga:
Sely sebenarnya bukan nama baru di dunia pemberantasan korupsi Indonesia. Sudah lebih dari 10 tahun ibu Garalt, 7 tahun; Kalila (5,5); dan Azad (4) ini bergabung dengan Indonesia Corruption Watch, lembaga nirlaba yang sejak 1998 konsisten memerangi korupsi. Namun memang, Sely tergolong jarang nongol di media massa dibandingkan dengan koleganya di ICW.
Sebab, selama ini Sely lebih sering bergelut di belakang layar. Di ICW, sejak awal, Sely getol mengawal isu-isu preventif pemberantasan korupsi di ranah lingkungan dan kehutanan. Ia, yang di ICW disebut sebagai “ibunya anak-anak”, juga lebih sering mengurus masalah manajemen. “Memang tugas dan bidang saya enggak ‘seksi’, tapi gerakan antikorupsi butuh manajemen yang baik,” kata dia.
Blusukan di hutan-hutan di daerah kerap dilakoni istri pengajar Jurusan Geodesi Institut Teknologi Bandung, Rizqi Abdulharis, ini. Ada kalanya, ia mesti menginap lebih dari sepekan di daerah untuk melakukan investigasi, evaluasi, dan memberi advokasi pada warga sekitar soal pentingnya menuntut keadilan terhadap perusahaan penyewa lahan.
Soal lelang konsesi hutan selalu membuat Sely geregetan. Wakil Koordinator ICW itu menilai selama ini ada jurang yang lebar antara perusahaan penyewa lahan dan warga pemilik kebun. Di Kalimantan Barat, misalnya, ada warga yang menyewakan 1 hektare tanahnya seharga US$ 3 (sekitar Rp 34 ribu). Padahal, keuntungan yang didapat dari penyewa lahan bisa beratus kali lipat dari harga sewa tersebut.
“Baca hasil investigasi hutan membuat saya marah. Gila kan, kita ngekos saja bayar ratusan ribu. Masak itu lahan sehektare yang isinya kayu miliaran cuma dihargai US$ 3?” kata perempuan kelahiran Bandung, 31 Maret 1978 ini.
Saking kesalnya terhadap perusahaan kertas dan minyak sawit yang mencurangi warga, Sely sampai emoh menggunakan produk mereka. Di rumah, ia membikin sendiri sabun mandi dari minyak kelapa. Minyak goreng untuk memasak pun ia tak mau memakai yang berbahan sawit. “Saya enggak mau omong doang. Makanya hal-hal kecil yang bisa saya lakukan untuk melawan mereka, saya lakukan.”
Kiprah Sely dalam pemberantasan korupsi dimulai sejak ia masih berstatus mahasiswa Jurusan Planologi ITB pada 1997. Sering aktif dalam berbagai demo anti-Soeharto dan membuat gerakan Lumbung Kota, yang tugasnya mengumpulkan bahan kebutuhan pokok untuk warga tidak mampu, mengantarkan Sely menjadi sukarelawan ICW dalam sejumlah penelitian.
Namun, Sely sempat berhenti aktif di ICW dan memilih bekerja sama dengan mantan dosennya menggarap sejumlah proyek. Saat itulah nurani Sely mulai terketuk. “Dari proyek-proyek itu saya tahu soal kick back (suap) yang sebenarnya merupakan bentuk korupsi. Setelah itu, saya memutuskan berhenti dan gabung lagi dengan ICW yang kebetulan sedang butuh evaluator,” katanya.
Sely sadar banyak risiko yang mesti dia tanggung sebagai pegiat antikorupsi. Karena lebih banyak bekerja di balik layar, ia jarang mendapat intimidasi, tetapi tekanan pasti tetap ada. Somasi pun beberapa kali diterimanya. Kendati demikian, sampai sekarang ia tak terpikir hengkang dan memilih pekerjaan lain.
“Melihat ancaman dan ketidakadilan yang didapat warga daerah selalu bikin saya tambah semangat membantu mereka,” katanya. Namun demikian, kadang-kadang ia juga tergoda untuk berhenti dan menjadi ibu rumah tangga. Tapi, “Kalau saya duduk di rumah saja, lalu siapa teh yang akan ngerjain tugas saya?” ujar peraih Master of Science pada Regional Development Planning (Perencanaan Pembangunan Regional) dari Technische Universitat Dortmund, Jerman, ini.
ISMA SAVITRI
Terpopuler:
Bawa Lamborghini Kuning, Raffi Ahmad Curi Perhatian
Teuku Wisnu Kecewa Jokowi Jadi Capres
Para Selebritas Nominasi Panasonic Gobel Awards
Musisi Peduli Indonesia Sumbang Pengungsi Kelud