TEMPO.CO, Singapura - Datang pukul 18.00, pintu Utara Singapore Indoor Stadium masih sepi. Hanya ada beberapa orang yang antre di loket utama. Tak tampak pula deretan kios atau tenda yang menjual kaos Eric Clapton atau merchandise lainnya. Justru lebih banyak orang yang melintas di depan stadion dari atau menuju stasiun MRT Stadium yang berjarak 50 meter dari tempat pertunjukan.
Suasana ini pasti berbeda jika konser Clapton diselenggarakan di Jakarta. Sejak siang sudah banyak yang buka lapak kaos dan merchandise. Para calo juga bergentayangan. Mereka bahkan berani membeli tiket dari calon penonton untuk dijual kembali. Ujaran "Ada tiket lebih, Bang?" kerap terdengar dari para calo.
Dari dalam stadion, pada pukul 18.00 itu, juga masih terdengar Clapton dan personel band lainnya yang menjajal vokal dan memeriksa instrumen musik. Eric dan kawan-kawan sempat menyanyi beberapa potong lagu dari "I Shot the Sheriff", "Tell the Truth" dan "Layla". Clapton didampingi Steve Gadd pada drum, Paul Carrack (Hammond), Chris Stainton (piano), Nathan East (bas) dan dua penyanyi latar. Latihan terakhir berhenti hampir pukul 7 malam. Betul-betul mepet dengan pertunjukan.
Tapi Indoor Stadium sudah berpengalaman menggelar konser musisi dunia. Kelompok Dream Theater, Deep Purple, dan belasan lainnya pernah tampil di sini. Dan ternyata beberapa menit sebelum Clapton menyanyikan lagu pembuka "Pretending", ribuan penonton keluar dari mulut-mulut subway. Ratusan mobil juga memenuhi area parkir. Sebuah malam yang hangat siap terhidang.
Pertanyaan masih muncul ketika Eric Clapton yang berambut putih, bermata kian cekung dan dengan urat-urat leher yang tampak layu naik ke panggung. Ia mengenakan hem biru, celana jins biru dan berompi hitam. Rekan-rekannya yang juga tak lagi muda memakai kostum panggung yang sebagian gelap. Akankah aksi para kakek ini akan menjadi malam yang berjejak panjang?
Penampilan yang nyaris "tak ada harapan" itu ternyata seketika punah ketika ia memegang gitar dan memainkan jemarinya di atas senar gitar listrik Fender Stratocaster kesayangannya. Keraguan atas kemungkinan tak primanya penampilan Clapton pun tertepis. Vokalnya masih bertenaga, kibasan tangan kanannya pada gitar enteng saja menjelajah seluruh nada, petikan melodinya juga masih mengundang decak penonton. Clapton masih "gila" seperti yang dulu dengan karakter yang kian tenang dan matang.
Lihatlah ketika ia memainkan riff-riff yang sontak menciptakan histeria itu. Aransemennya di beberapa cover version yang ia nyanyikan begitu kuat. Nomor "I Shot the Sheriff" yang dulu dinyanyikan Bob Marley, misalnya, bahkan tampil lebih garang. Warna asli reggae pada lagu Marley yang kental, menjadi ngerock dan ngeblues sekaligus di tangan sang maestro. Begitu pula pada lagu "Hoochie Coochie Man" milik Muddy Waters dan "Nobody Knows You When You're Down and Out" milik Mike Cox.
Jadilah Clapton mengubah Selasa malam 4 Maret 2014 sebagai malam, yang seperti ia ucapkan di Budokan, "mungkin tak akan pernah datang lagi". Ia benar-benar telah melarutkan penonton ke dalam singup blues. Ia, sebagaimana Gillan, telah membuktikan tak ada yang berubah dari totalitas bermusiknya. (Bersambung)
YOS RIZAL SURIAJI (Singapura)
Terkait:
Eric Clapton dan Singapura yang Kelewat Kalem (1)
Konser Eric Clapton Tanpa Cocaine (3-habis)