“Karena itu ajang sangat internasional banyak orang yang menonton dan datang untuk menanyakan gimana kalau film itu diputar di Indonesia. Mereka yang datang banyak dari universitas. Film itu akhirnya dipakai untuk edukasi, di women studies, gender studies, asian studies. Setelah itu akhirnya banyak yang ngundang dari festival ke festival,” jelas Stea Lim.
Karena film ini tergolong film non-mainstream lantaran fenomena yang dihadirkan tidak diterima publik sebagai kenormalan, maka tidak banyak diputar untuk penonton umum di Indonesia.
“Kita mesti selektif, kita sadar tidak semua orang bisa menerima film ini. Kita yang punya otoritas ini penonton mana yang ingin kita dekati,” ungkap Edith. Meski demikian, Stea dan Edith berharap film ini dapat ditonton oleh masyarakat umum agar kisah para perempuan yang memiliki pengalaman seksualitas berbeda itu bisa diketahui dan dipahami.
NURUL MAHMUDAH
Topik Terhangat
Tarif Progresif KRL | Bursa Capres 2014 | Ribut Kabut Asap | PKS Didepak? | Puncak HUT Jakarta
Berita terpopuler:
23 Persen Pengguna Android Pindah ke Windows Phone
iPhone 5S Diprediksi Akan Dirilis pada 20 September
Ada Senyawa Nikotin di Rambut Mumi Cile
Facebook Tarik Iklan dari Halaman Kekerasan