TEMPO.CO, Jakarta--Jeffrey Jacob Abrams memang sutradara yang gemar membuat penonton menahan napas selama meyaksikan karyanya. Sejak pembukaan tirai layar lebar, tak jarang Abrams langsung menjerumuskan pemirsa dalam ketegangan adegan. Sebut saja Mission: Impossible III (2006), Mission: Impossible – Ghost Protocol (2011), atau Star Trek (2009). Dan kini ia kembali mengulang ulahnya dalam Star Trek: Into Darkness.
Menumpang pesawat USS Enterprise, seharusnya James T. Krik menjelajah dan mempelajari dunia baru, tanpa ikut campur kehidupan di sana. Nyatanya di Planet Nibiru, Krik berkeputusan lain. Ia dan Spock mencoba menolong spesies terakhir di planet itu, dari terjangan gunung berapi. Tapi Spock malah terperangkap dalam kubah penuh lava bergejolak.
Untuk menyelamatkan Spock, Krik mesti menjemputnya dengan USS Enterprise. Artinya, makhluk pribumi akan mengetahui keberadaan mereka. Dan itu melanggar aturan Starfleet. Sementara Spock sudah pasrah mati dalam balutan lahar. Taat aturan, ia tidak berharap USS Enterprise menjemputnya.
Itulah cara Abrams menyapa penonton Star Trek: Into Darkness. Membawa ingatan penonton akan dua tokoh yang bertentangan, namun berteman dekat. Krik yang setia kawan, tapi pelanggar aturan; dan Spock, pria dingin nan logis yang terus mengikuti tata tertib.
Di sini, Abrams masih mengajak Chris Pine berperan sebagai Kapten Jame T. Krik. Sedangkan lakon Perwira Utama Spock tetap diberikan pada Zachary Quinto. Selama 190 menit, Abrams mengarahkan keduanya untuk tetap beradu argumen, kukuh pada sifat masing-masing. Sepanjang itu pula, Abrams memberikan percikan kejutan bagi penonton.
Ketika Abrams memasukkan tokoh antagonis: John Harrison (Benedict Cumberbatch), situasi semakin rumit. Awalnya, Harrison menjadi incaran USS Enterprise karena menggempur Markas Starfleet. Tapi mulut manisnya menggugah pendirian Krik. Musuh menjadi kawan; teman beralih ke musuh; dan musuh si musuh menjadi sekutu. “Musuh dari musuhku adalah temanku,” kata Krik.
Pemutaran hubungan kekerabatan itu menimbulkan teka-teki yang tak mudah tertebak. Apalagi tidak ada yang mengetahui latar belakang Harrison, si manusia berumur 300 tahun. Semua serba rahasia. Bagi awak USS Enterprise dan penonton. Abrams cuma memberikan petunjuk: Harrison adalah mantan anggota Starfleet.
Kehadiran lakon Dr. Carol Marcus (Alice Eve) yang serba tiba-tiba, bahkan tak ada dalam data USS Enterprise, menambah kesibukan penonton menerka. Apakah Marcus tokoh antagonis, atau sebaliknya, protagonis.
Soal teknologi, Abrams tidak banyak memberikan benda modern. Apa yang ada di Star Trek: Into Darkness, mirip dengan Star Trek (2009). Senjata uang digunakan tetap laser. Tidak berubah ke teknologi baru, misalnya pistol berkekuatan cahaya. Namun dari segi sinematografi, Star Trek: Into Darkness enak dipandang mata. Meski menontonnya tanpa kacamata tiga dimensi.
Berbobot, itulah plot Star Trek: Into Darkness yang dikemas Abrams. Dan seperti yang sudah ditulis di atas, Abrams terus membuat tensi penonton naik. Baru selesai satu permasalahan, Abrams langsung menjejali dengan prahara lain. Seolah-olah tidak rela melihat penonton bernapas lega. Sayangnya, ia tetap menerapkan ciri khas film Hollywood: happy ending. Andai saja ia menghentikan cerita pada saat Spock meneteskan air mata, Star Trek: Into Darkness akan lebih masuk akal.
Star Trek: Into Darkness
Sutradara: J.J. Abrams
Produser: J. J. Abrams, Bryan Burk, Damon Lindelof, Alex Kurtzman, dan Roberto Orci
Pemain: Chris Pine, Zachary Quinto, Zoe Saldana, Benedict Cumberbatch, Karl Urban, dan John Cho
Produksi: Paramount Pictures
Genre: Petualangan, laga, dan non-fiksi
CORNILA DESYANA
Topik terhangat:
PKS Vs KPK | E-KTP | Vitalia Sesha | Ahmad Fathanah | Perbudakan Buruh
Baca juga:
EDISI KHUSUS Cinta dan Wanita Ahmad Fathanah
Sastrawan Veven SP Wardhana Berpulang
Ada Bahasa Indonesia di The Fast and Furious 6
6 Seleb Paling Seksi Kata Victoria's Secret