TEMPO.CO, Jakarta - Namanya akan akrab di kalangan perbankan, bisnis, tokoh pembauran etnis Tionghoa dan film. Dia memang seorang yang unik dan punya komitmen kuat untuk memajukan dunia film Indonesia.
Njoo lahir pada 1930 di Yogyakarta dari keluarga Tionghoa totok yang berbicara Bahasa Hokkian dan Jawa dalam kesehariannya. Dia mengawali karirnya sebagai wartawan foto di Sunday Courier, sahabat Adam Malik dan BM Diah.
Setelah itu dia mencoba berbisnis bahan sembako dan bank. Dialah yang mendirikan Bank Dharma Ekonomi yang berubah menjadi Bank Duta.Dia membantu Ali Murtopo mendirikan Bank Umum Nasional dan menjadi komisaris sekaligus pendiri Bankers Club Indonesia.
Pertemuan dengan Slamet Rahardjo Djarot membuatnya terlibat lebih dalam dalam dunia perfilman. “Waktu dia menggedor, menendang rumah. Genteng rumah dilempar bata dan akhirnya saya keluar,” ujar Slamet Rahardjo dalam diskusi Njoo Han Siang dan Cerita Produksi Film di Taman Ismail Marzuki XXI, Selasa malam 26 Maret 2013. Rupanya saat itu dia ingin menemui Teguh Karya dan ingin menanyakan mengapa film Indonesia tidak maju-maju,” ujar
Dari Slamet Rahardjo, Njoo lalu bertemu Teguh Karya, Wim Umboh dan sutradara lain. Dia mempunyai visi membangun film Indonesia. Dia lalu mendirikan PT Inter Pratama Studio Laboratorium (Inter Studio) yang bertujuan membebaskan film Indonesia dari ketergantungan luar negeri. Inter Studio merupakan sebuah laboratorium film berwarna pertama di Indonesia yang memiliki fasilitas seperti rekaman suara, efek suara, pemaduan suara, sunting musik, alih suara dan efek gambar.
Biasanya para sutadara memproses filmnya di Hongkong atau Tokyo. Mereka harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi dan makan waktu. Harapan Njoo dengan Inter Studio ini mampu memproduksi film Indonesia yang bermutu, mendidik dan menjadi tuan di negeri sendiri.
Njoo tokoh unik yang membantu memproduksi film yang berkualitas. Menggandeng sutradara Teguh Karya, Wim Umboh, Slamet Rahardjo Djarot, muncullah film-film yang diacungi jempol.Sebagian besar film-film itu mendapat pengakuan dunia internasional di berbagai festival. Beberapa film itu antara lain November 1828 (1978), Chicha (1976), Usia 18, Rembulan dan Matahari, Duo Kribo.
Hendrick Gozali,produser sekaligus sahabat Njoo sempat menceritakan betapa kerasnya Teguh Karya dan Njoo saat pembuatan film November 1828. Menggunakan jasa ahli sejarah untuk mendapatkan data yang detail. “Saat itu konon belum ada pohon pepaya, jadi di desa tempat kami syuting , di jalan yang kami lalui harus ditebang semua,” ujarnya.
Dia meninggal di usia 55 karena penyakit diabetes. 2004 Njoo Han Siang mendapat anugerah Satya Lencana Wirakarya dari Presiden RI Megawati Soekarnoputri dalam acara peringatan Hari Film Nasional.
Selain itu, Departemen Kebudayaan & Pariwisata, melalui Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BPPN) selaku penyelenggara FFI, menganugerahkan Piala Khusus "Njoo Han Siang" kepada produser yang paling banyak memanfaatkan jasa teknik perfilman dalam negeri.
DIAN YULIASTUTI