TEMPO.CO, Jakarta - “Exselsior!” Sebuah kata mantra yang terus-terusan diucapkan Pat Solitano (Bradley Cooper), dalam kata Latin yang berarti menuju ke atas. Pat optimistis berjuang untuk keseimbangan hidupnya setelah keluar dari rumah sakit jiwa yang merawatnya selama delapan bulan. Pat optimistis bisa merangkai kehidupan baru dengan istrinya, Nikki, dan mengubah emosinya agar lebih stabil. Pat memang mengidap bipolar. Dia didiagnosis menderita penyakit tersebut setelah menyerang pria yang sedang berselingkuh dengan istrinya, Nikki.
Di awal film, penonton seperti terikat dengan sosok Pat yang bisa meledak setiap saat. Penonton menjadi sedikit takut dengan kerusakan yang dipicunya tanpa sengaja. Sedangkan Pat tampak arogan dan mengabaikan semua orang di sekelilingnya. Dia merasa telah cukup belajar selama delapan bulan di rumah sakit untuk bisa mengontrol emosinya. Dia merasa harus memperbaiki ayahnya, Pat Sr (Robert de Niro), yang memiliki gejala OCD (obsessive compulsive disorder).
Keinginan Pat hanya satu, kembali ke Nikki dan kembali menjalin perkawinan bahagia meski pengadilan telah menetapkan Pat harus menjaga jarak 500 kilometer dari Nikki. Lingkungan memandangnya dengan ketakutan, seakan Pat orang sakit jiwa yang bisa merusak setiap saat.
Pertemuan Pat dengan Tiffany (Jennifer Lawrence) memulai petualangan film tersebut sehingga lebih mendebarkan. Jangan membayangkan film yang menceritakan tentang kesehatan mental ini dipenuhi dengan adegan ekstrem layaknya film psikopat yang dipenuhi dengan pembunuhan berdarah. Bayangkan film ini disajikan dengan manis oleh sutradara David O Russel yang menitikberatkan sisi manusiawi yang jarang disentuh oleh Hollywood.
Di Hollywood, mengangkat kesehatan mental untuk dijadikan tema film merupakan hal yang jauh dari bayangan. Banyak yang mengkritik keberanian Russel memilih cerita yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karangan Matthew Quick. Tapi Russel dengan sangat baik menunjukkan cerita tentang kesehatan mental ini tidak dengan brutal. Kombinasi antara ketegangan dan masalah keluarga yang diselipkan dengan kisah percintaan serta rasa komedi yang manis.
Penonton harus kembali diaduk-aduk emosinya ketika Tifanny muncul. Seorang janda depresi yang ditinggal mati suaminya yang polisi karena penyakit jantung. Tifanny akrab dengan obat-obatan dan meniduri setiap lelaki yang datang. Sebelum menikah, Tifanny adalah seorang pelacur. Wajah sinis dan tatapan mata yang tajam serta mulut yang pedas merupakan kombinasi pas untuk menjadi lawan Pat. Tanpa disengaja, keduanya berteman, ketika Tifanny membela Pat yang nyaris dimasukkan kembali ke dalam rumah sakit jiwa.
Kedua manusia berbeda jenis kelamin yang sama-sama memiliki mental yang tidak stabil ini seakan mampu mengisi kekosongan masing-masing. Mereka seperti memahami kesepian yang dirasakan sehingga mereka berada dalam satu kondisi menjadi partner untuk sebuah turnamen tari.
Secara menakjubkan, Russell berhasil menampilkan sepotong kisah mengenai makna hidup yang luar biasa. Rasa pengidap bipolar yang berharap bisa mendapatkan cinta dan penghormatan. Russell suskse dalam penggambaran ini, karena dia memiliki anak, Matthew, yang didiagnosis menderita bipolar.
“Ini sangat pribadi. Saya telah melalui hal ini dengan putra saya dan temannya, dan itulah kenapa saya membuat film ini,” kata Russell. “Jadi ketika pribadi, Anda harus menanganinya dengan hati-hati. Saya sudah 18 tahun bersama anak saya soal penyakit ini.”
Matthew terlibat di film ini, menjadi anak tetangga yang sedang melakukan riset tentang kesehatan mental untuk sekolah dan melakukan wawancara dengan Pat. Meski sekilas, adegan ini menggelitik dan mampu memicu tawa penonton.
De Niro sendiri, hebat seperti biasa, tampil dengan khas kernyitan serta mulutnya yang dimonyongkan dan mampu menawarkan kelucuan. Emosi aktor watak ini, seperti biasa, menjadi improvisasi ketika syuting.
“Di dalam naskah tidak ada adegan Pat Sr menangis. Tapi De Niro justru sangat mendalami karakternya dan dia menangis,” kata Russell mengenai adegan Pat Sr yang mengaku cintanya begitu besar kepada Pat dibandingkan kepada kakaknya.
Sedangkan penampilan Lawrence di film ini memang layak memboyong pulang piala Oscar. Gadis berusia 22 tahun ini mampu menunjukkan kekuatan akting serta karakter yang kuat, meski sosok Katniss Everdeen di film Hunger Games begitu melekat.
Tema mengenai kesehatan mental biasanya dikritik karena selalu menyajikan pemecahan masalah dengan cara yang brutal. Tapi, film ini justru membawanya kepada simpati penonton tanpa harus ada manipulasi.
Tidak mudah bagi seorang sutradara untuk membuat film tema kesehatan mental tapi dengan kemasan lucu, bermakna tentang dua jiwa yang rusak dan tengah berusaha untuk menjangkau dari kegelapan depresi, sampai menemukan sesuatu yang berarti sehingga dapat mengubah hidupnya layaknya manusia normal lain.
Silver Linnings Playbook
Sutradara dan Skenario: David O' Russel
Pemain: Bradley Cooper, Jennifer Lawrence, Robert de Niro, Jacki Weaver, Chris Tucker, Julia Stiles.
ALIA FATHIYAH