TEMPO.CO, Jakarta - Setelah ditunda seminggu karena banjir, rumah produksi Gambar Bergerak akhirnya memutar film dokumenter berjudul Di Balik Frekuensi. Film bergenre feature documentary karya sutradara Ucu Agustin ini mengungkap kondisi media, khususnya televisi pasca-reformasi. Pemutaran perdana berlangsung Kamis, 24 Januari 2012, malam di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, Jakarta.
Film ini menyoroti konglomerasi media dan penggunaan frekuensi publik di media televisi. Film berdurasi 144 menit 27 detik ini diproduksi hampir setahun, yakni sejak 15 Desember 2011 hingga 25 November 2012. Lokasi pengambilan gambar dilaksanakan di Jakarta, Bandung, Indramayu, Malang, dan Porong, Sidoarjo. Perekaman yang cukup panjang ini menghasilkan lebih dari 330 stok gambar.
Tema film ini diakui jarang dibicarakan di dunia perfilman Indonesia. Tama film terutama membicarakan media, khususnya media televisi yang menggunakan frekuensi publik. “Ada isu penting yang ingin saya angkat setelah reformasi sekian lama. Bagaimana kondisi media kita, terutama pemilik media dan kepentingan politik dengan frekuensi yang dipakai itu,” ujar Ucu.
Film ini menyorot konglomerasi media yang mewarnai industri media Indonesia. Ucu dengan riset yang cukup panjang menyajikan bagaimana media Indonesia yang berada di tangan segelintir kelompok pengusaha. Grup pengusaha ini memanfaatkan medianya dan frekuensi publik untuk menggolkan kepentingan politik dan ekonominya.
Ucu bersama produser Ursula Tumiwa menceritakan apa yang terjadi pada media televisi dan konglomerasi media melalui kisah Luviana, jurnalis Metro TV, yang dipecat sepihak oleh Metro TV, dan kisah Hari Suwandi-Harto Wiyono yang berjuang menuntut keadilan dalam kasus ganti rugi lumpur Lapindo.
Melalui kisah mereka yang panjang, Ucu bergantian menyajikan bagaimana para jurnalis di lapangan memberitakan kasus-kasus itu. Menyajikan bagaimana frekuensi publik yang secara serakah dipergunakan para pemilik media untuk kepentingan politik dan ekonominya.
Rencananya, film ini akan diputar di beberapa kota besar seperti Bandung, Yogyakarta, Malang, Jakarta, Solo, Denpasar, layar tancap di Porong Sidoarjo. “Pemutaran komersial di bioskop mungkin belum, tapi kami putar di beberapa kota itu di jaringan AJI, komunitas film dan kampus,” ujar produser film, Ursula Tumiwa.
DIAN YULIASTUTI