TEMPO.CO, Semarang - Potret diri itu sangat ekspresif. Tampak sosok lelaki separuh badan berbalut pakaian adat Jepang warna kuning dengan kombinasi putih dan kelabu. Rambut panjangnya dikonde ke atas. Matanya membelalak dengan alis tinggi menjulang. Hidung mancung, tapi posisi mulutnya merot ke belakang. Kedua telapak tangan saling berimpitan di depan dada bak sedang merasakan detak jantung.
Itulah karya grafis Yasumasa Morimura bertarikh 1995 dengan ukuran 1 x 1,5 meter. Meski berjudul Selt Potrait of Sharaku, toh gambar ini hanya salah satu tafsir seniman desain grafis Jepang atas sosok Toshusai Sharaku, maestro pelukis Jepang, yang dipamerkan bersama sejumlah karya lain di Semarang Contemporary Art Gallery. Masih ada 84 karya dua dan tiga dimensi lain yang dipajang pada 17 November-1 Desember dalam pameran bertajuk “Sharaku, Interpreted by Japan’s Contemporary Artists” itu.
Dosen seni rupa Institut Teknologi Bandung, Aminudin T.H. Siregar, mengatakan, Sharaku merupakan seniman grafis Jepang yang masyhur dengan teknik grafis ukiyo-e (cukil kayu) pada zaman Edo. “Dia seniman besar, tapi sosoknya misterius. Belum ditemukan referensi kuat yang menjelaskan jati dirinya,” ujar Aminudin dalam diskusi pembukaan pameran itu.
Sharaku, pada rentang Mei 1794-Februari 1795, menghasilkan sekitar 140 karya berupa potret aktor kabuki, teater tradisional Jepang, serta beberapa potret pesumo dan kesatria. Yang membedakan Sharaku dengan seniman ukiyo-e lain adalah dia tak sekadar melukiskan wajah aktor, tapi juga diperkuat karakter lakon dengan warna kontras. Dengan demikian, menghasilkan potret yang ekspresif dan impresif.
Karena tak ada referensi kuat untuk menggambarkan sosoknya, Aminudin melanjutkan, ada spekulasi bahwa Sharaku bukanlah nama personal, melainkan nama samaran atau kelompok seniman. Sekali pun misterius, karyanya punya ciri visual, antara lain bentuk mata yang membelalak dengan alis menjulang, mulut peot, rambut berkonde, dan posisi tangan seperti ngapurancang. Ikon visual itu pula yang banyak ditampilkan peserta pameran kali ini.
Sharaku karya Shuzo Kato, misalnya, berupa tiga papan kayu yang di salah satu ujungnya terdapat mata bundar dengan bentuk alis berbeda. Tema yang sama juga ditampilkan oleh perupa Katsumi Asaba dalam karya Eyes Floating in Darkness. Sedangkan gaya rambut yang dilipat dengan konde di atas kepala ditampilkan Shegeo Fukuda dalam Sharaku dan Takahisa Kainijo melalui Untitled. Perupa Makoto Nakamura, dalam Sharaku’s Mouths, mencitrakan raut wajah dengan delapan bentuk mulut peot. Beberapa perupa lain mengeksplorasi posisi tangan pemain kabuki.
Ada juga yang menegaskan kemisteriusan sosok Sharaku, seperti dalam karya Yuzo Yamashita berjudul The Mask Behind The Mask. Karya ini berupa gambaran sosok berjubah biru tanpa kepala dengan tangan memegang dua topeng.
Catatan Japan Foundation, pemrakarsa pameran ini, menyebutkan bahwa sebelumnya karya Sharaku nyaris tak dikenal publik Jepang. Baru setelah seorang perupa Jerman, Julius Kurth, mempublikasikan penelitian tentang karya Sharaku pada 1910, terjadi heboh Sharaku di Jepang dan dunia Barat.
“Sharaku menjadi salah satu seniman penting di Jepang,” ujar Tadashi Ogawa, Direktur Umum Japan Foundation Jakarta.
SOHIRIN