TEMPO.CO , Jakarta: Tidak mudah bagi Rhoma Irama untuk membentuk musik dangdut hingga berjaya seperti sekarang. Pada 1980-an, dua kali Rhoma hampir mati di atas panggung. Saat pentas di Senayan, tiba-tiba dia kesetrum. Mike yang dia pegang lengket. Untung, gitarisnya sadar, lalu Rhoma ditendang hingga jatuh berdebam.
“Gara-gara itu, tulang punggung saya retak dan harus digips selama enam bulan. Saya terpaksa menyanyi di pentas memakai kursi roda,” kata Rhoma dikutip Majalah Tempo dalam Rubrik Balada Sang Raja Dangdut edisi 8 Mei 2011.
Pada masa itu, musik yang dibawakan Rhoma dijuluki musik samber nyawa. Bila Soneta berpentas, pasti ada saja orang yang mati. Misalnya, saat pentas di Jakarta Fair di Monas pada akhir 1970-an, tujuh penonton tewas. Setiap kali pentas, Subhanallah, sejauh mata memandang, hanya manusia. "Pada 1985, majalah Asia Week menjuluki saya Southeast Asia Superstar," ujar dia.
Rhoma memiliki beberapa gitar kesayangannya. Dia menunjukkan gitar kesayangannya, sebuah gitar headless bermerek Steinberger yang dibelinya di Hong Kong pada 1980. Saat itu harganya Rp 20 juta. Rhoma fanatik pada merek ini. "Setelah Fender dan beberapa gitar merek lain, Steinberger ini gitar terakhir saya," katanya. Alasannya, neck-nya kecil, fret-nya 24, pas buat dirinya. Dua buah Steinberger, berwarna hitam dan putih, kini setia menemaninya.
Meski masa jayanya sudah lewat, Rhoma masih laris manis. Dalam sebulan, Rhoma dan Soneta masih melayani dua-tiga konser off air di daerah, termasuk panggilan berdakwah. Badannya masih fit. Makanannya tidak berpantang. Olah raganya sederhana dan merakyat: silat Cingkrik. “Saya masih sehat. Jarang sakit,” kata Rhoma.
TIM TEMPO
Baca juga:
Rhoma Irama for President
PKS: Jangan Remehkan Rhoma Irama
Rhoma Berpeluang Rebut Suara Kelas Menengah-Bawah
PPP Jagokan Rhoma Jadi Capres, PKS ''Cuek''
PPP Dinilai Ingin ''Dompleng'' Popularitas Rhoma
Rhoma Irama Butuh Modal Gede untuk Nyapres
Alasan PPP Mau Calonkan Rhoma Irama Jadi Presiden