TEMPO.CO , Jakarta: Gelar raja dangdut yang diterima Rhoma Irama memang sesuai dengan perjuangannya mempertahankan keaslian musik dangdut yang menjadi ciri khas masyarakat Indonesia. Meski dicibir, Rhoma tetap optimis kalau musik tersebut bisa diterima.
“Saya bernapas dengan musik. Tapi saya hidup di antara dua kutub: orkes Melayu dan rock. Saya bisa merasakan cibiran penikmat musik rock kepada orkes Melayu. Inilah yang memacu saya mengembangkan orkes Melayu menjadi dangdut,” kata Rhoma seperti dikutip dari Majalah Tempo dalam Rubrik Balada Sang Raja Dangdut edisi 8 Mei 2011.
Tapi Rhoma justru mengawali karier sebagai penyanyi pop. Pada akhir 1960-an, ia merekam lagu Di Dalam Bemo, berduet dengan penyanyi pop Titing Yeni. Waktu itu diiringi kelompok pop Melayu, Pancaran Muda, pimpinan Zakaria.
Rhoma juga merekam beberapa lagu pop bersama band Zaenal Combo milik Zaenal Arifin dan band Galaksi, antara lain Pudjaan Hati, Di Rumah Saja, Bunga dan Kupu-kupu, Mohon Diri, Mabok Kepajang, Djangan Dekat-dekat, Anaknja Lima, dan Tjinta Buta.
Pada 1968, Rhoma bergabung dengan Orkes Melayu Purnama pimpinan Awab Haris dan Adullah. Awab dan Abdullah mengenalkan beberapa inovasi dalam irama Melayu. Mereka mengganti gendang kapsul dengan gendang tamtam. Band ini juga memasukkan gitar melodi ke dalam orkes. Agar mirip dengan musik India, pemain sulingnya, S. Shahab, menggunakan suling bambu.
Di OM Purnama, Rhoma berduet dengan penyanyi Elvy Sukaesih, yang belakangan mendapat julukan Ratu Dangdut. Ia juga merekam album Ingkar Janji bersama OM Chandraleka pimpinan Umar Alatas pada 1969.
“Saya beberapa kali pindah grup musik karena tiada kecocokan. Keprihatinan masa remaja, kehilangan ayah ketika masih di sekolah dasar, membentuk pribadi saya menjadi keras dan kukuh dalam prinsip, termasuk dalam musik. Akhirnya, saya membentuk Orkes Melayu Soneta pada 13 Oktober 1970,” kata Rhoma.
Grup miliknya hadir saat demam rock melanda dunia. Rolling Stones, Led Zeppelin, dan Deep Purple menjadi idola. Wabah rock ini membuat genre musik lain nyaris mati. “Kalau begini situasinya, orkes Melayu tidak akan bisa bertahan. Saya putuskan bersiasat. Orkes Melayu saya beri sentuhan hard rock. Pokoknya, saya harus bersaing dengan musisi rock,” kata Rhoma.
Lalu, ayah dari penyanyi Ridho Rhoma ini memasukkan napas hard rock ke dalam komposisi lagu Melayu. Irama Melayu yang mendayu digantinya dengan ketukan hard rock yang cepat. Ia menggunakan efek vokal ala Deep Purple. Irama tabla India dengan ciri khas gendang dan suling juga dia sisipkan. Lirik lagu Melayu yang pesimistis pun dia ubah menjadi dinamis.
Agar adonan musik ini sempurna hasilnya, jumlah alat musik dimodifikasi. Peralatan orkes standar tidak cukup. Ia nekad menambahkan dua gitar elektrik, bas elektrik, drum, keyboard, dan organ. Rhoma juga mengemas pertunjukan dengan atraksi panggung dan penyanyi latar.
Sejak 1971 sampai 1975, Rhoma benar-benar bereksperimen. Hasilnya, dia membuat genre baru: dangdut! “Istilah yang saya pakai: revolusi musik. Musik Melayu sudah bermetamorfosis menanggalkan wujudnya yang lama,” katanya.
Sambutan publik luar biasa. Musik gubahannya menyusup ke mana-mana, dari gang becek di kampung-kampung sampai panggung mewah di Senayan. Pada masa itu, kata Rhoma dangdut mendapat cercaan bertubi-tubi. Julukan musik kampungan melekat. Seorang pentolan band rock pada 1970 menyebut dangdut musik tahi anjing . “Tidak perlulah saya sebut namanya. Dia masih eksis sampai sekarang. Kubu rock bahkan meminta pemerintah melarang dangdut beredar,” ujar Rhoma.
TIM TEMPO
Baca juga:
Rhoma Irama for President
PKS: Jangan Remehkan Rhoma Irama
Rhoma Berpeluang Rebut Suara Kelas Menengah-Bawah
PPP Jagokan Rhoma Jadi Capres, PKS ''Cuek''
PPP Dinilai Ingin ''Dompleng'' Popularitas Rhoma
Rhoma Irama Butuh Modal Gede untuk Nyapres
Alasan PPP Mau Calonkan Rhoma Irama Jadi Presiden