TEMPO.CO, Yogyakarta - Bau apek mengagetkan pengunjung tatkala pintu Bentara Budaya Yogyakarta dibuka, Jumat malam pekan lalu, 2 November 2012. Bau itu berasal dari tumpukan jerami setengah basah yang dikumpulkan di tengah ruangan galeri.
Di atas tumpukan jerami, patung dua sosok pria dan wanita bertubuh gemuk sedang asyik kerokan. Si wanita dengan raut wajah judes, mengenakan jarik dan kutang, menggosokkan sekeping koin ke punggung pria. Si pria hanya pasrah dengan satu kaki diselempangkan ke pegangan bangku bambu.
Budiyana alias Boeyan, 43 tahun, seniman pembuat patung kerokan berjudul Mengusir Angin itu sangat terkesan dengan tradisi medis lokal.
Begitu terkesan, sampai-sampai dia mentransformasi praktek kerokan itu dari medium lukisan hingga medium patung. Karya ini pun menjadi ikon pameran tunggal dia bertajuk “Jawawood” di Bentara Budaya Yogyakarta, 2-10 November 2012. Demi memindahkan suasana perdesaan ke galeri, ia menggotong sendiri jerami asli bekas panen dari sawah di desanya di Gamping, Sleman, sebagai latar utama patung.
Boeyan menuturkan, sembilan bulan terakhir ini dia berdiam di ruang kecil rumahnya yang disulap sebagai galeri. Dia berkutat membuat figur tambun dalam berbagai polah. Figur gemuk, dalam masyarakat Jawa, melambangkan kemakmuran.
Ketua Kelompok Sepi (Seniman Pinggiran) Gamping, Sleman, itu menggarap karya dengan warna cenderung seragam: kuning oranye menyala. Pegiat tradisi seni Saparan Bekakak itu tiap datang ke toko cat hanya membeli puluhan botol cat tiga warna. Oranye, kuning, dan cokelat. “Saya suka kulit dan warna yang temaram. Seperti alami,” kata Boeyan.
Kadang, karya lukisnya terlalu terang dan mengkilat menyilaukan mata. Boeyan memakai teknik pelapisan untuk menciptakan pancaran mengkilat itu. Dia berulang-ulang melapisi obyek, mulai dari transparan hingga warna kental yang disapu campuran minyak. Warna mengkilat dibuat untuk menghilangkan suasana muram potret masyarakat desa.
Sosok gemuk pun kerap ditampilkan Boeyan secara penuh di hampir semua bidang kanvas. Figur itu, secara berurutan, menuturkan adegan kehidupan masyarakat. Seperti dalam judul Gopyokan Tikus, Pesta Usai Panen, dan Ini Jagoku serta gambaran aktivitas lain, seperti berdagang di pasar dan bermain domino.
Boeyan sudah hafal cara membentuk tubuh tambun. Begitu hafalnya, tiap kali tangannya menggerakkan kuas selalu dimulai dengan bentuk melengkung. Tapi, bentuk hafalan itu tampak kehilangan detail dan bercorak monoton. Misalnya, raut wajah cenderung sama, yakni wajah setengah mengantuk. Begitu juga anatomi mulut dan kaki. Bahkan, corak batik yang dikenakan sosok perempuan pun sama.
Menurut kurator pameran, Kuss Indarto, figur tambun dalam karya Boeyan mengingatkan karakter yang diusung pelukis kenamaan Kolombia, Fernando Botero, beberapa puluh tahun silam, atau karya Didik Nurhadi, Cucu Rukhiyat, dan I Nyoman Masriadi. “Yang membedakan justru isunya yang biasa dan pinggiran. Isu lama yang sudah tak disorot tapi kembali diangkat,” kata dia.
Kuss menjelaskan, teknik serta tema karya Boeyan mungkin sebenarnya sudah lama tersingkir dari pasar seni rupa kontemporer. Pasalnya, kebanyakan seniman mengusung gaya urban, dengan teknik kanvas kolaboratif, serta mengeksplorasi gagasan post-modern. Tapi, ujar Kuss, corak lukisan Boeyan punya pasar sendiri. Sebagaimana corak dan tema lukisan Jokok Pekik yang ndeso tapi pernah ditawar dengan harga Rp 1 miliar.
Saat ini, katanya, peminat seni rupa mulai bosan dengan karya kontemporer yang akhirnya menjadi massal. “Teknik dan tema sederhana seperti ini yang kembali dicari,” ujar dia.
PRIBADI WICAKSONO
Berita lain:
Torehan Rudy Atjeh di Kedai Kebun Yogyakarta
Perupa Ini Melukis dengan Darahnya
Pameran Arsip Kuno Berbagai Kerajaan di Yogya
Benteng Vredeburg Gelar Pekan Apresiasi Museum
Hari Ini,Digelar Pameran Silaturahmi di Yogyakarta