TEMPO.CO, Yogyakarta - Ingin minum wine tapi duit cekak bukan soal bagi Agus Tri Budiarto alias Timbil, 41 tahun. Dia bersama Andreas Siagian alias Ucok, 29 tahun, dan Nur Akbar Arofatullah, 25 tahun, bisa menyulap aneka buah menjadi minuman beralkohol aneka rasa.
Fruit wine, begitulah mereka menyebutnya. Sebab, minuman itu berasal dari aneka buah, tapi rasanya laksana anggur. Buah yang digunakan pun buah-buahan lokal, seperti salak, sawo, jamblang alias duwet (juwet), bahkan jahe. Siapa pun bisa membuat minuman ini.
Tiga orang ini tergabung dalam Lifepatch, yang baru berdiri pada 26 Maret lalu, yakni sebuah organisasi independen berbasis komunitas yang bekerja dalam aplikasi kreatif dan tepat guna di bidang seni, sains, dan teknologi. “Kami membagikan ilmu yang kami peroleh kepada masyarakat melalui berbagai workshop,” kata Timbil dalam presentasi Lifepatch di Rumah IVAA di Jalan Ireda, Yogyakarta, Jumat petang, 2 November 2012.
Menurut Timbil, sudah ada 11 macam buah yang mereka jadikan fruit wine. Sebelas macam buah itu telah menghasilkan 35 macam ragi. Itulah aplikasi kreatif di bidang sains yang telah mereka hasilkan. Proses pembuatannya menggunakan teknologi fermentasi dengan ragi. Jenis ragi yang digunakan pun merupakan hasil isolasi buah nangka yang telah digarap dalam laboratorium bersama Lifepatch dan Komunitas Laboratorium Mikrobiologi Universitas Gadjah Mada.
Dalam presentasi yang menggunakan audio-visual pada petang lalu itu, mereka menjelaskan bagaimana buah-buahan itu dikupas dan dipotong kecil-kecil. Potongan buah itu direbus hingga menghasilkan sari. Hasil rebusan tersebut didinginkan dengan temperatur di bawah 40 derajat Celsius. Sari buah itu lalu ditampung dalam botol kosong yang diberi ragi, yang akan mengubah kandungan gula menjadi alkohol dan CO2.
Baca Juga:
Botol kemudian ditutup, disegel rapat, dan diberi selang kecil yang dihubungkan dengan disinfektan pada botol terpisah. Tujuannya adalah mensterilkan peredaran CO2 yang dihasilkan sehingga tidak ada mikroorganisme lain yang dapat mengkontaminasi proses fermentasi pada botol yang berisi sari buah itu. Diperlukan waktu minimal dua pekan agar mereka bisa menikmati fruit wine karya sendiri.
Lantas, apa yang mereka harapkan dari komunitas seni yang hadir di Rumah IVAA pada petang lalu itu? “Ini memang bagian dari ilmu pengetahuan yang berbasis teknologi. Tapi jangan salah, bahwa proses pembuatan fruit wine itu sendiri adalah proses berkesenian,” kata Timbil.
Jika menilik pada penampilan, bolehlah Timbil mirip seniman, lantaran rambutnya dibiarkan gondrong. Mereka tak punya api dasar pendidikan formal bidang seni. Timbil adalah lulusan Fakultas Pertanian dan Ucok dari Fakultas Teknik Sipil Universitas Gadjah Mada. Akbar yang terlihat berpenampilan serius dengan kacamata dan rambut pendeknya justru memiliki hobi menggelar workshop, pelatihan, serta penelitian. Dia kini tengah merampungkan pendidikan S-2 Bioteknologi di UGM. “Ini bagian dari media art yang orang Indonesia sebut new media art. Padahal sudah enggak baru lagi,” kata Timbil.
Rangka seninya pun mereka kemas dengan menampilkan gelas-gelas laboratorium aneka bentuk. Lalu mereka menuangkan hasil fermentasinya yang berupa fruit wine aneka warna dan rasa. Tak ketinggalan selang kecil yang menghubungkan botol berisi sari buah dengan botol disinfektan. Kemasan botol-botol aneka ukuran itu pun mirip karya instalasi. “Seni, kan, tidak hanya memanfaatkan indra mata dan telinga saja, tapi lidah dan penciuman juga,” kata Irfan Dwidya Prijambada, seorang profesor bidang mikrobiologi UGM, yang membimbing mereka selama ini.
Irfan pun mencontohkan, seni membuat kopi itu bisa dinilai saat dirasakan dengan lidah. Namun, Irfan mengakui bahwa bermain-main dengan aneka eksperimen liar dari Lifepacth sangat menyenangkan. Sebab, mereka bereksperimen yang lepas dari hal-hal formal perkuliahan. Bahkan, mereka menghasilkan produk fruit wine aneka rasa. Fruit wine dari salak dan duwet memiliki rasa yang enak. Bahkan rasa fruit wine dari duwet mirip dengan wine sebenarnya, dari anggur. “Tapi kalau yang dari nangka itu pesing. Rambutan kacau, keras sekali rasanya. Terus, jahe saat difermentasi malah rasanya panas enggak karu-karuan,” kata Irfan, yang kemudian membuat peserta presentasi tergelak.
Bahkan karya-karya media art itu bisa menghasilkan bunyi-bunyian mirip gelembung. Bunyi itu muncul saat CO2 keluar dari botol dan mengalir melalui selang yang ditampung dalam botol berisi air. “Muncullah bunyi seperti orang glegekkan (sendawa),” kata Ucok.
Sudah cukup banyak eksperimen yang mereka lakukan. Selain fruit wine, ada yoghurt dan biofuel dari daun salam. Tak ada niatan Lifepatch untuk mematenkan produk-produk eksperimennya. Mereka lebih senang membagikan ilmunya kepada masyarakat agar bermanfaat. Harapannya, masyarakat sendiri yang bisa mengembangkan dan menggunakannya untuk meningkatkan perekonomian keluarga.
PITO AGUSTIN RUDIANA
Berita terpopuler lainnya:
Ke DPR, Dahlan: Saya Bawa Nyawa Saya
''Andi dan Anas Akan Mundur Sendiri''
Jokowi, Taman Suropati, dan Twinkle Little Star
Pembunuh Janda Cantik Thiolina: Tukang Bangunan
Wonder Girls Buka-bukaan Tentang Kejadian Memalukan
Jokowi Batal Nge-warteg di Srengseng