TEMPO.CO , Nusa Dua, Bali: Petikan senar pipa mengantar imajinasi ke lembah-lembah dan sungai-sungai raksasa di daratan Cina. Wang Ying, sang musikus, memeluk instrumen musik tradisional Cina yang sudah berusia 2.000 tahun itu. Penuh penghayatan, ia memainkan nomor klasik Spring Green, irama dengan bunyi yang sangat jernih sehingga sangat menenteramkan hati.
Wang Ying tampil saat jumpa pers Indonesian Music Expo (IMEX) 2012 di Nusa Dua, Bali, Senin lalu. Dia adalah salah satu musikus dunia yang akan tampil dalam pertunjukan yang berlangsung hari ini dan besok, 3-4 November 2012. Ia sudah dikenal sebagai artis pengusung genre world music yang membawa musik tradisional Cina. Adapun pipa adalah instrumen semacam gitar empat senar dengan fret dari bambu yang berjumlah kisaran 19-26 dan dilekatkan di badan pipa yang gemuk. Ada pula tambahan 6 fret yang biasanya terbuat dari tanduk di gagangnya.
Para musikus dunia yang akan tampil memang diberi kesempatan menunjukkan kepiawaiannya dengan instrumen khas masing-masing. Seperti Kailash Kokopeli, musikus asal Swiss, yang pada kesempatan itu menunjukkan kebolehannya bermain seruling dari suku Indian di Amerika. Ia pun memulainya dengan memainkan akapela layaknya ketika suku Indian mengawali sebuah ritual. Lalu ia mengakhirinya dengan petikan gitar ala Abad Pertengahan yang hanya berupa sebuah stik panjang dengan empat senar.
Ada pula musikus Iran, Pejman Jahanara, yang datang membawa sebuah rebana ala Negeri Kaum Syiah itu. Bedanya dengan rebana di Indonesia, ukurannya jauh lebih besar dan kulit yang lebih tipis. Cara memainkannya juga berbeda, cukup dipukul dengan sangat pelan, tapi getaran nada yang dihasilkannya cukup kuat. Pejman melengkapi keunikan alat itu dengan suara baritonnya saat menyanyikan lagu-lagu kaum sufi yang berisi pujaan kepada kebesaran Ilahi.
Penampilan mereka kian menarik ketika diberikan kesempatan melakukan kolaborasi dan saling merespons musik masing-masing. Perpaduan antara gaya musik Cina, India, dan Iran ternyata memberikan kesan spiritual dan natural yang saling melengkapi. “Padahal mereka hanya spontan memainkannya,” kata Franky Raden, etnomusikolog penggagas IMEX.
Selain tiga musikus itu, para musikus world music internasional yang akan tampil adalah Clio Karabelas (Yunani), Ron Reeves (Australia), Anello Capuano ( Italia), Supa Kalulu (Afrika), Kevin Briggs Band (AS), Mayco Santaella (Argentina), dan TLJ Alliance (lintas negara). Penampilan mereka nantinya diharapkan makin menarik setelah bertemu dengan para musikus Indonesia yang juga berkiprah di bidang ini, yakni Dwiki Darmawan, Fariz R.M., Iwan Hasan, Joy Tobing, Renny Jayusman, Andi /rif, dan lain-lain. “Meski dikenal sebagai musikus pop, mereka akan berusaha mengangkat warna world music dalam instrumen mereka,” kata Franky.
Fariz, misalnya, akan menggunakan alat musik saluang dari Sumatera Barat. Dwiki akan melibatkan pemain gendang dari Jawa Barat. Selain itu, akan tampil Ayu Laksmi bersama grup Svara Semesta dan grup band Nymphe dan Maera yang gemar menggarap musik etnik. Ada juga grup Modero dari Sulawesi yang mengusung musik asli suku Kaili.
Bagi Franky, pertemuan-pertemuan di acara IMEX itu nanti akan berujung pada popularitas Bali sebagai pusat world music dunia. Saat ini, kata dia, belum ada acara festival internasional yang mewakili genre ini sebagaimana festival musik yang menjadi pertemuan musikus rock, jazz, blues, dan lain-lain. “Bali mempunyai potensi itu karena merupakan daerah persimpangan internasional,” ujarnya. Kekayaan musik Bali juga sangat kuat karena musik tradisionalnya diwariskan secara turun-temurun.
Franky, yang tiga tahun terakhir ini tinggal di Bali, mulai menyiapkan laboratorium kecil di Ubud, tempat para musikus bisa saling bertemu dan melakukan olah kreatif. Adapun acara yang cukup besar, seperti IMEX, digelar di Nusa Dua guna menjangkau publik yang lebih luas.
Cita-cita Franky itu mendapat dukungan dari para musikus internasional. Wang Ying menyebut Bali sebagai tempat yang tepat karena kondisi geografis pulau ini. “Dari gunung ke laut sangat dekat sehingga memberi inspirasi yang sangat kaya,” ujarnya. Dia juga terkesan dengan spiritualitas masyarakat Bali yang memberi ketenangan serta inspirasi bagi siapa pun yang datang ke pulau ini.
Eksistensi world music diyakini akan semakin kukuh di dunia dan sejajar dengan aliran musik mainstream, seperti rock, jazz, dan lainnya. “Sebab, bahasa musik dalam genre ini jauh lebih universal karena bunyi yang dikeluarkan adalah suara hati,” kata Kailash Kokopeli. Dengan demikian, musik dapat menjadi sarana guna menciptakan empati lintas budaya yang bukan sekadar saling pengertian secara rasional belaka.
ROFIQI HASAN
Terpopuler:
Skyfall, James Bond Bisa Jenaka
6 November, The Fray Konser di Indonesia
Star Wars Episode Baru Rilis 2015
Koran Vatikan Bahas Film James Bond Skyfall
Brayut Jadi Tuan Rumah Ngayojazz 2012