TEMPO.CO, Bandung-Facebook tak hanya dijadikan media pelampiasan kekesalan, ajang curhat, dan bergosip sesama kawan di dunia maya. Ditangan Acep iwan Saidi, budayawan dan sastrawan asal Jawa Barat, melalui facebook, dia bisa membuat sebuah buku. Dari 84 patahan narasi di facebooknya, Acep membuat buku dengan julul “Surat Malam untuk Presiden”.
"Dengan adanya internet, jejaring sosial, kita harus bisa mengendalikan, bukan dikendalikan," kata Acep di ITB, Senin, 29 Oktober 2012. Dia mendokumentasikan 501 narasi status Facebook miliknya, yang berisi beragam kritik dan opini terhadap berbagai hal, mulai dari masalah politik, lingkungan, sosial, budaya, hingga agama.
Bagi Acep, Narasi adalah inti dari peradaban modern. Media sosial dalam hal ini bisa dimanfaatkan untuk menjadi ruang narasi yang utuh. Tidak sekedar menjadi media curhat atau gosip, sebagaimana diarahkan oleh pendiri facebook. "Berkaryalah dengan memanfaatkan media yang tengah digandrungi, sehingga menginspiasi dan banyak berbagi dengan banyak orang,” katanya.
Menurut Acep, meski bukunya seolah ditujukan pada Presiden itu, tapi dia tidak mengharapkan balasan rill dari presiden atas tulisannya. “Buku ini bisa menjadi bagian dari referensi presiden yang melihat ini sebagai saran dalam membuat kebijakan nantinya,” ujarnya.
Acep menjelaskan, dengan adanya media sosial, membuat bangsa ini menjelma menjadi manusia-manusia reaksional. Bahkan presiden pun melaukan tindakan serupa, dimana ia menjadi manusia reaksional yang akhirnya angkat bicara setelah ada desakan dari masyarakat lewat media sosial.
Dalam buku Surat Malam untuk Presiden itu, Acep mencoba menyampaikan gagasan-gagasan dari sebuah bangsa yang narasinya terpatah-patah, tidak saling menyambung. “Kita mengenal sejarah, namun tidak ada sambungannya dengan masa kini, ini menjadi bentuk patahan-patahan yang kompleks,” ujarnya.
Menanggapi buku Acep Saidi, Aat Suratin sutradara sinetron populer di TVRI era 90-an menilai buku Surat Malam untuk Presiden adalah sebuah kritik yang disampaikan secara empatik. “Penulis tahu, dan mau tahu tentang posisi yang dikritiknya dengan menggunakan hati. Kritik kita adalah kritik sebagaimana kita mengkritik saudara kita,” kata Aat.
SONIA FITRI | ENI S