TEMPO.CO , Jakarta: Mobil sport Maserati GranCabrio warna gelap keluaran tahun lalu yang berada di depan pintu masuk Ballroom Ritz Carlton, Pacific Place, Jakarta, itu menyapa pengunjung Bazaar Art Jakarta 2012. Mobil mewah asal Italia itu berhadapan langsung dengan lima patung babi setinggi orang dewasa yang sedang menggotong upeti.
Maserati dan patung karya Adi Gunawan yang berjudul Upeti (Hadiah untuk Istana) yang terbuat dari bahan fiberglass warna perunggu itu menunjukkan dua hal berbeda yang ingin ditampilkan dalam pasar seni tahunan ini. Keduanya ingin menampilkan seni sebagai karya dan seni sebagai bagian dari gaya hidup masyarakat.
Saat pembukaan pameran pada 26 Juli lalu, bermunculan kaum sosialita Jakarta yang mengenakan baju desainer terkenal, gaun kaftan bertabur kristal, wangi parfum, dan sepatu berhak tinggi. Mereka tampak kontras dibanding para pencinta seni berambut gondrong yang memakai jins dan kaus.
Tapi, merekalah sasaran utama, karena acara ini memang cenderung untuk berjualan karya seni dan, "Lebih mengarah pada gaya hidup," kata Rizki A. Zaelani, kurator Mall Art untuk Public Art Project, bagian dari pasar seni yang digelar di seputar Pacific Place.
Karena itu pula, pengunjungnya kebanyakan berasal dari para kolektor muda. Namun, "Di pasar seni ini makin lebur antara kolektor kawakan sampai anak muda yang baru tahap mengagumi," kata Rizki.
Pameran ini menyajikan karya yang beragam, dari karya dua dimensi, seperti foto dan grafiti, hingga tiga dimensi, seperti patung serta instalasi. Dengan tema "Celebrating Indonesian Heritage" sebagai payung besarnya, pameran ini menampilkan berbagai karya yang dikelompokkan dalam sembilan bagian, yakni fotografi fashion, seni Islami, seni Jepang, modernisme, OK.VIDEO, pusaka Iwan Tirta, ruang rupa, wayang dalam seni, dan seni kinetik. Ada 20 galeri yang berpartisipasi kali ini, antara lain Edwin Gallery, Andi Gallery, Zola Zolu Gallery, Langgeng Gallery, dan Vanessa Art Link.
Seni kinetik merupakan bagian baru tahun ini dan belum banyak diangkat dalam wacana seni rupa Indonesia. Seni kinetik merupakan gabungan antara bentuk tiga dimensi dan prinsip mekanika. Bentuk seni rupa ini menggunakan dasar patung atau ensambel dari materi kayu, akrilik dan logam, yang diberi mesin untuk menggerakkan bagian tertentu, sesuai dengan konsep senimannya. Seni jenis ini masih jarang dibicarakan dan dipamerkan. Kehadiran karya-karya jenis ini menjadi sarana untuk mengenalkannya lebih jauh kepada khalayak dan menguatkan eksistensinya.
Edwin Gallery, penyelenggara pameran seni kinetik, menampilkan Dragon Frrry karya Septian Harriyoga dan Myths Chariot karya Bob Potts. Tampil pula karya Edwin Rahardjo, Bagus Pandega, dan Rudi Hendriatno.
Menurut Aminuddin T.H. Siregar, kurator pameran seni kinetik, karya seni ini membuka sensibilitas terhadap pengalaman baru akan ruang, irama akibat gerak berulang, struktur, dinamika, dan estetika yang tidak ditemukan pada lukisan atau patung. "Kita dihadapkan pada situasi baru yang merangsang seluruh saraf motorik," katanya.
Setiap peserta pameran menampilkan karya unggulannya. Sotheby's, satu-satunya balai lelang yang ikut serta, menampilkan beberapa karya terkenal, misalnya lukisan cat minyak Lee Man Fong yang berjudul Weaver, yang dinilai seharga US$ 64-89 ribu atau hampir Rp 850 juta.
Di beberapa galeri terdapat karya-karya para maestro seni rupa Indonesia yang belakangan ini sempat diributkan karena kasus pemalsuan, misalnya S. Sudjojono, Hendra Gunawan, dan Affandi. Namun, harga karya mereka tampak masih tinggi. Lukisan cat minyak Perahu Kalimantan di Kalibaru karya S. Sudjojono, misalnya, harganya ditawarkan US$ 115 ribu atau Rp 1 miliar lebih. Lukisan Bermain Judi karya Hendra Gunawan dihargai Rp 1,8 miliar lebih. Ada pula lukisan Affandi yang berjudul Ginza dihargai sekitar Rp 2,2 miliar.
Beberapa lukisan karya Richard Wrinkler, pelukis asal Swedia yang kini bermukim di Bali, juga ditampilkan. Lukisannya khas menampilkan deformasi bentuk wanita menjadi gemuk, tapi dengan elemen lanskap yang mengingatkan kita pada lukisan Walter Spies. Salah satu lukisannya, Red Morning, dihargai Rp 900 juta oleh galeri Zola Zolu Gallery.
Seniman yang pernah menyemarakkan dinamika seni Kota Bandung pada 1950-an kembali tampil dalam bagian spesial modernisme, seperti A.D. Pirous, Mochtar Apin, But Muchtar, Rita Widagdo, Popo Iskandar, Sunaryo, dan Nyoman Nuarta. Dua bagian khusus lain mengambil tema wayang sebagai inti gagasan dalam berbagai format dan media.
Pasar seni ini diselenggarakan hanya dalam empat hari, 26-29 Juli 2012, tapi tampaknya tetap akan mengeruk keuntungan besar. Tahun lalu, misalnya, omzet penjualan pasar seni ini mencapai Rp 22 miliar. Dedy Koswara, Head of Marketing Majalah Bazaar Indonesia--penyelenggaranya--mengatakan, pada pasar seni pertama pada 2009, angka penjualan mencapai Rp 12 miliar, dan naik pada tahun kedua menjadi Rp 18 miliar.
EVIETA FADJAR