TEMPO.CO, Mollo Utara - Ratusan warga dari tiga suku besar di Kabupaten Timur Tengah Selatan, yakni Mollo, Amanuban, dan Amanatun, berkumpul bersama di bukit keramat Anjaf-Nausus, Desa Fatukoto, Mollo Utara, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, sejak Selasa, 24 Juli 2012.
Mereka berbondong-bondong menghadiri Festival Ningkam Haumeni yang berlangsung tiga hari berturut-turut hingga Kamis, 26 Juli 2012. Sebagian besar warga yang tersebar di puluhan desa itu datang dengan berjalan kaki selama berjam-jam melintasi wilayah perbukitan.
Festival Ningkam Haumeni merupakan festival tahunan yang digelar sejak 2010. Festival ini berupaya mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal masyarakat tiga suku tersebut, yang dikenal sebagai Masyarakat Tiga Batu Tungku. Festival ini terinspirasi oleh perjuangan Suku Mollo dalam mengusir perusahaan pertambangan marmer dari wilayah perbukitan yang mereka anggap keramat, yakni Anjaf dan Nausus. Melalui festival ini mereka bertekad mengembangkan perekonomian yang tidak merusak alam dan jati diri mereka.
Ningkam Haumeni berasal dari dua kata, yaitu "ningkam", yang artinya lilin atau madu, dan "haumeni", yang berarti cendana. Kedua barang tersebut kini sudah semakin sulit ditemukan di wilayah itu.
Koordinator seksi acara, Herry Naif, mengatakan festival akan diisi berbagai macam kegiatan budaya, seperti ritual adat, pameran tenun, pertunjukan tari, berbalas pantun, dan pemutaran film tentang lingkungan hidup. Mereka juga mendiskusikan berbagai persoalan yang tengah dihadapi, termasuk memperkuat komitmen mereka terhadap nilai-nilai adat yang mulai memudar.
"Festival ini dilakukan atas inisiasi dan kemauan masyarakat adat Tiga Batu Tungku sendiri dan bukan atas inisiasi pemerintah atau bantuan dari pihak mana pun," kata Aleta Baun, motor penggerak festival ini. Aleta adalah aktivis lingkungan yang peduli dengan kampung halamannya. Dialah perempuan yang memimpin masyarakat Molo menentang kehadiran perusahaan tambang marmer di wilayah mereka.
Festival Ningkam Haumeni digelar dengan sangat sederhana, tanpa panggung, tanpa ingar bingar musik. Berselimutkan udara dingin, mereka berdiskusi mencari solusi terhadap berbagai persoalan, terutama soal kerawanan pangan. Aleta menuturkan festival ini diharapkan mampu menghasilkan usaha alternatif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap mengedepankan kearifan lokal masyarakat Tiga Batu Tungku, tanpa merusak ekosistem dan ekologi yang ada.
"Selama tiga tahun ini kami mengalami gagal panen, dan kerawanan pangan selalu menghantui kami. Tapi kini kami harus siap menghadapinya," tutur Aleta. Untuk mengatasi masalah itu kini dia mencoba mengajak masyarakat untuk mengembangkan berbagai bibit pangan lokal yang bisa bertahan hidup dalam kondisi perubahan iklim yang tidak menentu. Dalam festival tahun ini masyarakat adat akan berdialog dengan Maria Loretha, peraih Kehati Award 2012 dari Adonara, Flores, yang telah sukses mengembangkan beragam tanaman lokal seperti sorgum, sejenis jagung yang lazim tumbuh di daerah kering seperti NTT.
Secara terbuka mereka juga akan berdialog dengan Bupati Timor Tengah Selatan, Paul Mela, dan anggota DPR, Farry Francis, pada Rabu, 25 Juli 2012. Mereka mengingatkan pemerintah agar lebih mengembangkan pertanian dan peternakan ketimbang kebijakan yang lebih mengeksploitasi alam, seperti pertambangan.
"Tambang dan semacamnya bukan kita yang buat. Tidak boleh kita ambil dan menjualnya. Biarkan mereka ada di dalam tanah saja. Kita akan menjual yang bisa kita buat saja, misalnya tenun, pertanian, dan sebagainya. Itu yang kami pilih," kata Aleta.
NUNUY NURHAYATI (MOLLO UTARA)