TEMPO.CO, Yogyakarta- Bagaimana pematung asal Sumatera menggambarkan Tugu Yogyakarta? Komoroden Haro, pematung kelahiran Baturaja, Sumatera Selatan, membuat bentuk tugu dalam posisi miring nyaris terjungkal. Di bagian bawahnya dia susun batu bak anak tangga dengan pasir hitam halus bertebaran di sekitarnya. "Saya hanya ingin menceritakan bahwa Yogyakarta tak hanya identik dengan tugu, tapi juga ada keraton, puro," kata Komoroden, Ahad 22 Juli 2012.
Karyanya ini merupakan satu dari karya seni rupa dalam pameran bertajuk "Memaknai Pusat" di Jogja Gallery pada 21-31 Juli 2012. Awalnya, ujung Tugu Yogyakarta berbentuk bulat sehingga disebut tugu Golong Gilig. Arti Golong Gilig, berdasarkan pemahaman makrokosmos, adalah penyatuan Tuhan dengan manusia. Tugu Golong Gilig merupakan wujud kepasrahan dan kepercayaan manusia kepada Tuhan.
Pada pemahaman tugu sebagai mikrokosmos, keberadaan raja merupakan perwujudan Tuhan di dunia sehingga di dalam diri raja terdapat keseimbangan berbagai kekuatan alam. "Jadi tugu itu merupakan simbol kekuasaan yang di dalamnya terdapat filosofi orang Jawa," kata kurator pameran, Lutse Lambert Daniel Morin.
Toh di tangan seniman, Tugu Golong Gilig menghasilkan beragam ekspresi. Pelukis C. Roadyn menggambar sebentuk tangan bernuansa biru dengan ujung telunjuk menghadap ke atas. Ujung telunjuk itu dimaknai laiknya Tugu Yogyakarta dengan menambahkan sketsa berbentuk lingkaran pada ujungnya. Jadilah lukisan berjudul "Penanda" itu seperti Tugu Golong Gilig pertama kali dibangun sebelum akhirnya tumbang akibat gempa pada 10 Juni 1867. Tugu baru pun dibangun dengan ujung runcing pada 3 Oktober 1889 oleh arsitek Belanda J.W.S. van Brussels di bawah pengawasan Patih Kanjeng Raden Adipati Danureja V.
Adapun pengusaha gerabah Kasongan, Timbul Raharjo, menyusun lima miniatur Tugu Yogyakarta lewat karya berjudul "Kiblat Papat Limo Pancer". Tugu berwarna putih itu disusun hingga membentuk empat sudut arah mata angin yang juga menunjukkan empat unsur kehidupan, yakni angin, api, tanah, dan air. Atau pun empat tokoh punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Tugu pun bisa digambarkan dengan sudut pandang kritis oleh seorang Zenfa Kusmaryanto. Melalui lukisannya, Zenfa menggambarkan filosofi tugu yang tak lagi dipatuhi oleh zaman, yakni melalui sosok perempuan renta dengan rambutnya yang penuh uban.
PITO AGUSTIN RUDIANA